Posts

Ujian

  "Mungkin itu yang namanya ujian. Yang dijaga, pergi. Yang disayang, ninggalin." "Ujian, atau mungkin emang enggak semua bisa dimilikin. Apa yang bukan buat kita, udah seharusnya pergi, kan?" "Kalau gitu, kenapa sejak awal pernah singgah? Buat apa datang tapi akhirnya pergi?" "Buat kasih pelajaran, kalau enggak semua cerita indah selalu diakhirin sama tokoh-tokoh yang hidup bersama. Pernah ketemu sama cerita yang akhirnya si tokoh memutuskan hidup sendiri tanpa pasangannya? Dia emang sendirian. Tapi dengan begitu, dia merasa lebih baik. Mungkin dia belum ketemu yang tepat. Mungkin dia enggak mau cari tahu mana yang tepat. Karena dia tahu, dengan sendiri dia juga bisa baik-baik aja. Begitu juga sama pasangannya si tokoh. Ngeliat orang yang dulu pernah jadi pasangannya baik-baik aja bahkan ketika mereka udah enggak sama-sama lagi, dia merasa punya kewajiban untuk baik-baik aja. Happy ending, enggak selalu berakhir dengan dua tokoh yang memutuskan hidup...

Let's break up

Jingga menatap laki-laki di hadapannya lurus. Datar. "Apa yang kamu pikir sederhana, belum tentu sederhana untukku. Sejak awal kita bangun hubungan ini sama-sama, aku tahu hal yang sulit menyatukan dua kepala yang kita tahu sama kerasnya. Tapi kupikir, kita akan saling bergantian untuk saling memahami. Memahami semuka luka yang kita simpan dalam-dalam. Tapi nyatanya apa? Semua luka itu kamu kasih ke aku, tanpa kamu mau nanggung luka lain. Terlalu banyak luka, Tir. Kupikir kamu harusnya jadi seseorang yang mampu sembuhin lukaku, tapi kemudian aku sadar luka itu cuma bertumpuk di diriku sendiri. Aku yang sakit dan telan semuanya, kamu enggak. Semuanya tampak mudah buat kamu, tapi enggak buat aku. " Tira tak kalah serius menatap Jingga. Perempuan itu berkaca-kaca. Hal yang paling dibenci Tira, ketika ia harus jadi penyebab seorang perempuan menangis. Ya, siapa suruh Jingga merasa menderita sendirian? "Kalau kamu bilang aku enggak punya luka yang kusimpan, gimana dengan semu...

Ya karena dia butuh pendukung, Na.

 "Gue enggak ngerti aja, dia punya masalahnya kan sama gue. Dia yang benci sama gue, kenapa harus ngajak semua orang buat benci gue juga? Kan orang lain enggak punya masalah apa-apa sama gue?" Nana meneguk es jeruk di hadapannya. Bayangannya kembali melayang ketika seminggu lalu, ia memutuskan untuk tidak datang ke sekolah lagi. Entah sampai kapan.  "Ya karena dia butuh pendukung, Na. Dia takut dia jadi sendirian, dia takut orang lain tahu kalau lo itu bener. Dia takut semua orang tahu dia salah, dia terlalu takut jadi sendirian. Padahal ya, namanya temen mah bakal ada aja walaupun lo dibilang rese sama semua orang." Bima mengatakan itu untuk kesekian kalinya.  Sore ini, sepulang sekolah ia memutuskan untuk menemui Nana karena gadis itu sudah absen dari sekolah selama seminggu. Bima tahu, apa yang Nana alami memang bukan hal yang mudah. Bagaimana mungkin dikucilkan oleh semua orang adalah hal yang mudah? "Lo mau sampe kapan kayak gini? Lo mau terus-terusan kabu...