Ya karena dia butuh pendukung, Na.
"Gue enggak ngerti aja, dia punya masalahnya kan sama gue. Dia yang benci sama gue, kenapa harus ngajak semua orang buat benci gue juga? Kan orang lain enggak punya masalah apa-apa sama gue?" Nana meneguk es jeruk di hadapannya. Bayangannya kembali melayang ketika seminggu lalu, ia memutuskan untuk tidak datang ke sekolah lagi. Entah sampai kapan.
"Ya karena dia butuh pendukung, Na. Dia takut dia jadi sendirian, dia takut orang lain tahu kalau lo itu bener. Dia takut semua orang tahu dia salah, dia terlalu takut jadi sendirian. Padahal ya, namanya temen mah bakal ada aja walaupun lo dibilang rese sama semua orang." Bima mengatakan itu untuk kesekian kalinya.
Sore ini, sepulang sekolah ia memutuskan untuk menemui Nana karena gadis itu sudah absen dari sekolah selama seminggu. Bima tahu, apa yang Nana alami memang bukan hal yang mudah. Bagaimana mungkin dikucilkan oleh semua orang adalah hal yang mudah?
"Lo mau sampe kapan kayak gini? Lo mau terus-terusan kabur dan enggak masuk sekolah? Yang rugi kan lo sendiri. Mereka baik-baik aja tuh selama lo enggak ada, padahal mereka yang buat salah." Bima kembali membujuk Nana. Dia tahu, Nana sudah bulat dengan tekadnya untuk tidak masuk sekolah selama mungkin. Tapi itu hal yang tidak mungkin. Kurang dari sebulan lagi, ujian kenaikan kelas akan diadakan."Lo enggak ngerti yang gue rasain, makanya lo gampang aja ngomong kayak gitu. Coba lo jadi gue, Bim. Lo ke sekolah, lo enggak ngelakuin apa-apa aja lo diomongin. Lo lewat diliatin, dibisikin ini itu, semua orang ngira lo salah, semua orang ngira lo emang kayak yang diomongin dia padahal enggak. Lo enggak tahu rasanya," cecar Nana menatap sahabatnya dengan penuh amarah. Ya, siapa yang tidak kesal jika semua orang di sekolah membicarakannya hanya karena sesuatu yang tidak benar?
Bima menghela napas panjang. Ia sudah kehabisan ide untuk membujuk Nana."Gue tahu Na lo kesel. Tapi coba lo pikir lagi, dengan lo kayak gini lo justru bikin mereka ngerasa menang. Lo kabur dari mereka itu bikin semua orang mikir kalau yang diomongin selama ini itu bener. Lo suka ngadu domba oranglah, lo suka rebut pacar oranglah. Orang mah enggak penting pernah ngalamin atau enggak digituin sama lo, mereka cuma denger apa yang kesebar aja. Kalo lo kayak gini, sembunyi terus-terusan kayak gini, lo pikir bakal ada yang berubah ketika lo masuk nanti? Lo pikir semua orang bakal mendadak baik sama lo? Bakal kasihan sama lo? Enggak. Mereka justru makin mikir lo emang kayak gitu. Lo enggak bisa kabur dari masalah Na, karena lo tahu masih ada yang belum selesai. Mau sejauh apa pun lo kabur, akhirnya ya lo harus hadapin lagi. Yang mungkin jauh lebih rumit dari sebelumnya." Nana menatap langit dari teras rumahnya dengan tatapan kosong. Semua yang dikatakan Bima memang benar. Tapi, apa dia cukup berani untuk bertemu wajah-wajah itu lagi? Bertemu wajah-wajah yang ia tahu selama ini sudah mengatakan hal-hal buruk tentangnya? Apa semua orang mau menerimanya lagi? Apa semua orang pada akhirnya akan tahu apa yang sebenarnya? Kalau ia mengatakan semuanya, apa semua orang akan percaya?
"Dan lo tahu, lo enggak pernah sendirian. Ada gue. Lo percaya sama gue. Gue enggak akan biarin lo sendirian dan biarin omongan semua orang hantuin lo. Tutup telinga rapat-rapat, denger apa yang mau lo denger. Kalau mereka enggak peduli yang sebenarnya kayak apa, lo juga pantes buat enggak peduli sama apa yang mereka omongin."
Nana tersenyum.
Comments
Post a Comment