Validasi yang Dibutuhkan

    Aku baru baca satu tulisan beberapa waktu lalu, dan masih kepikiran sampai sekarang. Enggak sengaja lewat di timeline Twitter (aku lebih senang bilang Twitter dibanding X karena enggak jelas) dan waktu aku baca, entah kenapa merasa tulisan itu terlalu cocok untuk aku.

    Isinya gini; "My mother once told me: if you have to talk to more than one person about the same problem, you don't want help. You want attention. The real strength is SOLUTION not VALIDATION."

    Wah. Aku betul-betul merasa ditampar di depan muka sendiri. Tapi setelah kupikir lagi, apakah aku enggak boleh menginginkan validasi itu? Apakah aku enggak boleh merasa butuh validasi dari orang lain? Aku bukan profesional dan enggak tahu jawabannya tentang benar dan salah, tapi aku merasa bahwa pada beberapa titik kita akan membutuhkan atau menginginkan validasi dari orang lain. Melihat apa yang terjadi ke diriku sendiri selama bertahun-tahun, aku merasa banyak ceritain masa-masa aku dijauhin itu bukan karena butuh validasi tapi karena aku sangat mudah kepancing kalau membahas soal itu. Ingatan yang masih jelas itu bisa dengan mudahnya aku ceritain ke orang di hadapanku, cuma dengan sedikit pancingan. Aku baru sadar kalau itu salah dan buat beberapa orang jadi enggak nyaman.

    Tapi, apa yang salah kalau aku memang betul-betul butuh validasi? Aku butuh validasi sebagai tameng karena udah membebani diri sendiri dengan rasa bersalah yang enggak pernah berkurang kapasitasnya meski udah bertahun-tahun lewat. Bahkan setelah banyak kejadian di hidupku, momen itu enggak pernah bisa kulupain begitu aja. Detail tempat, waktu, suasana, juga tokoh-tokohnya, masih terlalu jelas dan entah kapan akan pelan-pelan kabur dari ingatan. 

    Di sisi lain, aku merasa bahwa aku enggak boleh sepenuhnya lupa dengan momen itu. Aku butuh cerita pahit itu untuk beberapa hal, salah satunya sebagai alasan bahwa aku enggak boleh jatuh ke penyakit yang sama. Bahwa ke depannya, aku harus berdiri tanpa bantuan dari siapa-siapa. Khawatirnya, kalau aku melupakan momen enggak menyenangkan itu, aku lupa dan kembali jadi diriku yang begitu menggantungkan diri pada orang lain dan semua rentetan kejadian itu cuma akan berulang. Aku enggak siap kalau harus begitu lagi. 

    Tanpa perlu diberitahu orang lain, aku tahu kalau validasi dari orang lain sama sekali enggak menyelesaikan masalah apa-apa. Aku tahu betul itu sebelum orang lain perlu bicarain. Tapi aku enggak bisa bohong ke diri sendiri kalau aku harus tahu bahwa semua perasaan yang menghantuiku ini sama sekali bukan hal yang aneh. Aku butuh diyakinkan oleh orang lain bahwa sedih, marah, dan rasa bersalah yang aku bawa selama ini adalah hal yang sangat sangat wajar. Berangkat dari situ, aku mulai belajar untuk memaafkan apa yang udah telanjur terjadi di belakang karena cuma itu yang bisa kulakukan. Keyakinan yang ditanam orang lain di diriku, ternyata memperkuat keinginanku untuk sembuh dan kembali seperti sedia kala. Meski frekuensi yang kubutuhkan tetap harus pada batas wajar, juga pada orang-orang yang tepat. 

    Validasi dari orang lain memang enggak bisa menyembuhkan, apalagi mengembalikan apa-apa. Tapi dari hal sederhana itu, kekuatan yang kita cari selama ini bisa tumbuh dengan sendirinya.


Comments

Popular posts from this blog

Satu Hal yang Kini Tidak Lagi Kutakutkan; Ditinggalkan

Apakah semua orang yang berusia 21 tahun mengalami hal seperti ini?