Satu Hal yang Kini Tidak Lagi Kutakutkan; Ditinggalkan

    Bukan hanya berduka yang akan menghantam kita tiba-tiba di hari Minggu yang biasa saja, tapi juga rasa sakit.

    Rasa sakit atas perasan tidak dianggap, tidak mendapatkan apa yang seharusnya didapatkan, tidak mempunyai seseorang untuk diandalkan, tidak diingat oleh orang terdekat, dan semua perasaan buruk itu, akan menghantam kita di satu hari yang biasa saja. Mungkin ketika bangun dari tidur, perjalanan pulang, di dalam angkutan umum yang berdesakan, atau siang hari terik yang biasa saja. Sangat biasa saja.

    Realitas (mari kita menyebutnya begitu), datang seperti palu yang siap menghantam kepala dan seluruh tubuh kita untuk mengingat kembali bahwa tidak ada seorang pun yang menginginkan kita sebesar kita menginginkan orang-orang di sekitar kita. Teman-teman yang kita anggap dekat itu, sangat mungkin hanya menganggap kita sebagai satu dari ratusan kenalan mereka yang tidak ada artinya. 

    Aku tidak merasakan kehadiran orang-orang yang selama ini kuanggap teman dekat, di saat tersulitku. Aku tidak merasa mereka memberikan apa yang sudah kuberikan pada mereka. Aku berusaha untuk menjadi teman yang baik dengan memberikan mereka semua yang dibutuhkan, tenaga, waktu, juga semua hal yang bisa kuberikan. Tanpa perhitungan, tanpa pertimbangan panjang. Apakah berarti mereka tidak pernah benar-benar ada di sana? Belum tentu. Mungkin mereka ada di sana, dengan cara yang mereka anggap benar namun keliru untukku. Dengan cara yang sesuai dengan mereka, tapi berlawanan dengan caraku. Lalu, apa yang harus kulakukan kalau bentuk yang kubutuh dan yang mereka berikan berbeda? 

    Aku tidak ingin membuat seseorang merasa buruk atas dirinya. Tidak ingin pula aku menuntut mereka untuk memberikan semua sesuai dengan kebutuhanku. Terlepas dari itu semua, aku tahu bahwa ada satu hal yang kini tidak lagi kutakutkan; ditinggalkan.

    Sejak lama, setiap kali ada pertanyaan tentang apa hal yang paling kutakutkan di dunia ini, aku selalu menjawab ditinggalkan. Lama-kelamaan perasaan takut itu memudar karena aku tahu bahwa pada akhirnya, semua orang akan meninggalkanku. Lantas aku berpikir, kenapa aku tidak meninggalkan orang-orang terdekatku lebih dulu? Aku tidak siap kalau harus ditinggalkan untuk ke sekian kali oleh semua yang kukira akan ada untuk selamanya, jadi bukankah lebih baik kalau aku menjaga jarak dari sekarang? Karena itu pula, aku mulai melihat ke belakang. Aku menyadari bahwa selama ini, dari sekian banyak perjalanan yang telah kulalui, aku selalu melaluinya sendirian.

    Pada suatu hari yang biasa saja, aku menyadari bahwa aku selalu sendirian. Bukan karena tidak memiliki siapapun, bukan pula karena orang-orang terdekat tidak pernah menawarkan bantuan. Aku hanya merasa bahwa mereka tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk membantu, jadi aku menolak semua tawaran itu. Aku lelah menjelaskan semua yang rumit bahkan untuk diriku sendiri. Aku lelah kalau harus mengulang cerita yang itu lagi dan lagi, untuk ratusan atau ribuan kali, pada orang yang aku tahu tidak akan pernah bisa memaknainya sebesar aku memaknai hal itu. Lalu, untuk apa aku berusaha mereka mengerti? Untuk apa aku menerima pertolongan mereka? Ujungnya, aku selalu berhasil melalui semuanya sendirian. Selalu sendirian.

    Aku paham bahwa setiap orang memiliki bentuk kasih sayang yang berbeda-beda. Sayangnya, aku tidak siap dengan segala perubahan yang bergerak dengan cepat di sekitarku. Aku tidak siap dengan mereka yang mengubah bentuk kasih sayang mereka seiring dengan perjalanan yang mereka lalui. Aku takut karena aku terlalu bergantung pada genggaman mereka, sementara mereka bisa melepaskan genggaman itu kapan saja. Tanpa peringatan, tanpa aba-aba. Karena itu, aku memutuskan untuk menempuh jalan panjang ini sendirian; untuk ke sekian kalinya.

    Kalau suatu hari aku harus berhadapan dengan hal menyulitkan, aku tahu bahwa aku akan bisa melaluinya karena itu yang terjadi selama ini. Kalau suatu hari mereka meninggalkanku, aku tidak lagi kecewa dan mempertanyakan diri sendiri, juga tidak lagi menyalahkan diri sendiri atas sesuatu yang tidak perlu kusesalkan. Untuk hari kemarin, hari ini, dan hari esok, aku selalu memiliki diriku sendiri. Meski sendirian, ia tidak pernah ke mana-mana. Sesulit apa pun perjalanan yang akan ada di depan, sebanyak apa pun orang yang akan meninggalkan, seterjal apa pun bebatuan di sana, aku tahu bahwa aku akan melewatinya. Dengan terbata-bata dan jatuh bangun; aku tidak akan melepaskan genggaman dalam diriku sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

Validasi yang Dibutuhkan

Apakah semua orang yang berusia 21 tahun mengalami hal seperti ini?