Hidup atau mati

Aku harus mencari satu pekerja lagi. Satu pekerja yang datang dari tempat jauh tapi kemudian memilih untuk menetap dan bekerja di Jakarta. Entahlah, kenapa tugas kuliah ini begitu menyusahkan. Kami harus menanyakan kepada banyak orang, apakah mereka termasuk orang-orang yang merantau atau bukan. Tapi justru tugas-tugas kuliah seperti ini yang membuatku semakin bersemangat, merasa tertantang.

Aku jalan di depan toko-toko. Becek di beberapa tempat, terlihat jelas bahwa semalam atau pagi tadi hujan deras. Sampai aku tiba di depan sebuah kedai makanan. Aku memasuki kedai itu karena harus segera makan sebelum aku pingsan di tengah jalan.

"Pesan apa, mbak?" Salah satu pelayan di toko itu menghampiriku sambil menyerahkan selembar kertas menu. Aku memesan nasi dan ayam, juga es teh manis. Sambil menunggu, aku melihat-lihat keadaan sekitar. Kedai ini cukup ramai untuk hitungan sebuah kedai makanan kecil. Hanya tersisa dua meja kosong di antara 10 yang tersedia. Sampai akhirnya mataku terarah pada seorang pengantar makanan dari kedai ini. Kuhampiri dia dan duduk di sebelahnya.

"Kerja jadi pengantar makanan, pak?" tanyaku membuka pembicaraan. Bapak itu menoleh, kemudian mengangguk."Bapak perantau bukan, pak?" Aku bahkan sudah tidak punya tenaga untuk berbasa-basi lebih jauh."Iya, dari Lampung," jawabnya. Aku membuka mataku lebar-lebar. Dengan semangat, aku menjelaskan tugas kuliahku yang membutuhkan orang-orang sepertinya. Kemudian dengan santai, bapak itu menjawab,"Ya silahkan saja, saya lagi nganggur ini," ujarnya. Aku bergegas mengambil pulpen dan buku catatan, juga ponsel.

Kumulai wawancara ini dengan hal-hal umum seperti kenapa dia memilih Jakarta sebagai tempat merantau, kenapa harus merantau, apakah dia memiliki keluarga yang jadi tanggung jawabnya, dan sebagainya.

"Dulu ada tawaran kerja dari teman yang udah lebih dulu kerja di Jakarta. Katanya gajinya lumayan dibanding kerjaan saya di Lampung yang enggak jelas, cuma cari-cari pekerjaan yang bisa saya kerjain aja. Kadang dibayar, kadang enggak. Akhirnya saya pikir mungkin Jakarta emang menjanjikan, karena udah banyak tetangga yang juga milih pindah. Apalagi ada istri dan anak-anak yang harus saya hidupin. Rupanya sampai Jakarta enggak ada yang menjanjikan. Teman yang dulu nawarin kerjaan juga dia dipecat dari tempatnya kerja," ujarnya."Memang anaknya ada berapa, pak? Usianya berapa?" tanyaku lagi."Tiga. Yang pertama baru masuk SD, yang satu baru masuk TK, yang satu lagi baru dua tahun," jelas pak Toriq (aku sudah menanyakan namanya sebelum memulai wawancara ini). Akhirnya, kami mulai masuk ke arah penghasilan yang biasa didapat pak Toriq."Bayarannya kalau kayak gini ya kalau ada yang pesan aja. Setiap pesanan dibayar 20.000. Kalau hari itu enggak ada yang pesan, enggak dapet apa-apa seharian." Aku sempat terdiam sejenak. Bukankah 20.000 untuk setiap pesanan terlalu kecil?

Aku melihat bahwa daftar pertanyaan yang seharusnya kuberikan sudah habis. Tapi aku memilih untuk menanyakan beberapa hal lain, karena kupikir cerita pak Toriq sungguh menarik."Tadi kan bapak sempat bilang kalau bapak sudah sarjana jurusan sastra, terus kenapa enggak lanjutin kerja di dunia sana aja, pak?" tanyaku."Waduh, susah cari kerjanya. Saya juga enggak senang kuliah di jurusan itu. Tapi dulu orang tua minta saya kuliah di sana, katanya anak temannya yang jurusan sastra dapat kerja bagus. Karena saya enggak bisa lawan permintaan mereka, ya saya ikuti aja kuliah jurusan itu. Saya juga merasa bisa lulus sarjana dari sana keajaiban. Orang saya aja sama sekali enggak minat dan enggak ngerti soal itu, rupanya bisa lulus juga." pak Toriq tersenyum tipis mengatakannya. Mungkin saat ini dia sedang mengenang masa-masa ia kuliah dulu.

Seorang pelayan meletakkan pesananku di meja, matanya mencariku. Aku melihatnya dan mengacungkan ibu jari, menandakan aku sudah melihat pesananku sudah siap. Dia tersenyum dan pergi. Urusan makan, bisa nanti. Sekarang ini cerita pak Toriq masih menarik perhatianku.

"Saya ya mbak, mungkin kalau enggak ada keluarga udah pilih mati aja. Cari kerja di mana-mana susah. Enggak di Jakarta, enggak di Lampung, sama aja. Enggak bisa makan seharian ya rasanya udah enggak aneh, udah biasa. Yang penting buat saya sekarang gimana bisa buat istri dan anak-anak sehat dan bahagia aja, udah cukup. Urusan keinginan saya punya ini itu, rasanya jadi hal paling belakang yang harus saya wujudkan." Tanpa aku bertanya apa pun, pak Toriq mengatakannya. Sepertinya ia merasa lebih nyaman ketika bisa meluapkan semua yang ia pendam."Bapak pernah enggak sih, nyalahin siapa gitu pak karena harus kerja setengah mati kayak gini?" Dia mengangkat alisnya, mungkin sedikit terkejut mendengar pertanyaanku."Ya pernah, tapi saya ingat lagi. Tuhan tahu saya pasti bisa laluin semuanya, jadi saya jalanin aja. Mana yang Tuhan kasih, saya ambil. Saya udah enggak mau lagi salahin yang lain, lebih baik cari penyelesaiannya. Kalau saya salahin Tuhan, bisa-bisa sedikit harta yang saya punya juga diambil." Setelah berbasa-basi sedikit, kami mengakhiri obrolan itu. Aku kembali ke mejaku dengan air mata yang berusaha kutahan.

Aku tidak tahu, bahwa untuk beberapa orang, hidup memang se-enggak ada pilihan itu. Apa pun yang ada, kerjaan yang bisa dikerjain meskipun capek setengah mati dan bayarannya cuma cukup buat makan sehari, mau enggak mau harus diambil. Pikir pak Toriq, lebih baik hidup susah dibanding hidup santai dibanding tahu-tahu mati kelaparan. Dan satu-satunya yang membuat ia memilih untuk hidup meski susah, adalah keluarganya.

Aku tidak sadar, air mataku menetes ketika aku memasukkan nasi ke dalam mulutku.

Comments

Popular posts from this blog

Validasi yang Dibutuhkan

Satu Hal yang Kini Tidak Lagi Kutakutkan; Ditinggalkan

Apakah semua orang yang berusia 21 tahun mengalami hal seperti ini?