Selamat Ulang Tahun

"Selamat ulang tahun ya Nak, maaf tahun ini belum bisa beliin kado lagi. Tahun lalu juga kadonya cuma makan-makan, maaf ya." Ibu membelai kepala Dika pelan. Ayah juga melakukan hal yang sama, tapi tidak mengucapkan apa pun. Dika mengangguk. Ia tidak apa-apa tidak ada kado, tidak ada makan-makan, tidak dirayakan pun tidak masalah. Sebab Dika percaya yang terpenting dari ulang tahun bukan barang dan kemewahan yang harus didapat, melainkan doa dari kedua orang tuanya.

Dika mengambil helm hendak pergi bekerja seperti biasanya."Hari ini enggak libur dulu ngojeknya, Nak?" tanya Ayah ketika Dika bersiap mengambil sepatu."Enggak yah, sayang waktunya. Di rumah juga enggak ngapa-ngapain, Dika kerja aja," jawab Dika. Dikenakan sepatunya yang sudah lusuh itu. Sepatu lima tahun lalu yang sebetulnya sudah kesempitan, bagian solnya pun nyaris terlepas. Sudah dilem berulang kali sama saja, sepertinya memang umur sepatu itu memang sudah terlalu lama. Sebelum Dika meninggalkan rumah dengan motornya, ayah menghampiri."Selamat ulang tahun ya Dika, maaf Ayah enggak bisa beri kamu apa-apa. Kalau ayah udah ada uang nanti, ayah janji kasih kamu sepatu baru ya." Dika tersenyum mendengar itu dan mengiyakan kata-kata ayahnya. Janji yang sama yang diberikan ayah ketika dua tahun lalu Dika berulang tahun. Sepatu itu tidak pernah datang. Uang yang ada selalu digunakan untuk keperluan di rumah.

***

"Nanti malem kita jadi ya makan-makan di rumah gue," Jihan meletakkan ponsel itu di telinganya. Tangan sebelah kirinya sibuk memasukkan barang-barang ke dalam tas. Terdengar suara teman-temannya mengiyakan ajakannya.

Sudah sejak dua bulan lalu Jihan dan ketiga temannya berencana untuk menghabiskan waktu bersama. Semenjak masing-masing dari mereka memiliki pekerjaan, semuanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Sudah satu tahun semenjak terakhir kali mereka bertemu. Selain karena padatnya jadwal pekerjaan, jarak mereka pun memang saling berjauhan. Jihan dan Rani yang bertempat tinggal di Jakarta, Kiara yang bertempat tinggal di Semarang, sementara Tiara menetap di Bandung. Karena direncakan dari jauh-jauh hari, keempatnya berhasil mengosongkan satu hari untuk menghabiskan waktu bersama. Untuk menceritakan apa yang terjadi selama setahun belakangan, dan untuk menghilangkan rasa lelah yang merayap dalam diri masing-masing.

***

Hari ulang tahun tidak membuat Dika berhenti mencari uang. Umurnya memang baru 18 tahun, tapi karena kondisi keluarganya yang begitu sulit, Dika memutuskan segera mencari pekerjaan selepas SMA. Membayangkan akan kuliah pun tidak, karena ia tahu ia bukan anak yang cukup pintar untuk mendapatkan beasiswa atau diterima di universitas negeri. Dia juga bukan anak orang kaya yang bisa masuk ke universitas swasta. 

Tidak banyak tempat yang menerima seorang anak lulusan SMA dengan nilai yang tidak mengejutkan. Semuanya biasa-biasa saja. Akhirnya pilihan terakhir ada pada sebagai ojek online. Meski tidak mendapatkan penghasilan yang sesuai diharapkan, setidaknya hal itu bisa membantu kedua orang tuanya dibandingkan ia hanya berdiam diri di rumah. Ibunya sebagai asisten rumah tangga di salah satu rumah yang letaknya di ujung jalan, dan ayahnya sebagai supir yang mengantarkan barang antar kota. Meski sudah bekerja keras, kedua orang tuanya masih sering kesulitan untuk membayar kebutuhan di rumah. Karena itu Dika tidak mempedulikan omongan orang lain, termasuk teman-temannya yang mempertanyakan kenapa ia memilih bekerja sebagai ojek online alih-alih kuliah.

"Ini kak makanannya." Dika menyerahkan dua kotak piza pada perempuan yang usianya sekitar 20-an."Makasih ya!" serunya bersemangat."Iya kak sama-sama, sehat selalu ya kak," ujarnya. Perempuan itu mengangguk sambil tersenyum lebar. Ketika ia masuk rumah, terdengar suara perempuan tadi pada keluarganya."Mama, Papa, Adek, ayo sini pizanya udah ada! Yuk pasang lilinnya nih! Mana nih yang ulang tahun?" Dika tersenyum mendengarnya.

Dika memang tidak pernah berharap akan mendapatkan kue atau makanan lain. Tidak ada hal-hal seperti itu di keluarganya. Cukup memberikan doa, semuanya sudah cukup. Tapi dalam lubuk hatinya, ia menginginkan hal-hal itu. Hal-hal yang tidak pernah disentuhnya. Tahun lalu keluarganya memang makan-makan dalam rangka merayakan ulang tahunnya, tapi sebetulnya itu hanya makan malam biasa, dengan menu yang biasa, hanya saja dirayakan bersama kedua orang tuanya. Saat itu ayahnya baru pulang dari luar kota.

Ia kembali menyalakan mesin motornya, karena sudah ada order-an baru di ponselnya.

***

"Sebelum makin malem, pesen makan dulu, yuk!" Rani membuka ponselnya."Oh iya juga, nanti keburu tutup malah susah." Kiara menyetujui usul temannya. Tepat saat itu Jihan sedang memegang selembaran dari salah satu toko piza."Eh beli piza aja yuk, kalau lewat aplikasi ada diskon nih 30%," ujarnya bersemangat. Siapa yang tidak suka diskon? Teman-temannya langsung menyetujui usul itu. Dipesannya makanan yang mereka inginkan. 

***

Piza lagi. Ini sudah order-an ketiga yang isinya piza. Dika menghela napas. Ia hanya mengantarkan makanan milik orang lain tanpa pernah merasakan makanan itu. 

Setelah menunggu 15 menit, pesanannya siap. Dika menuju motor dan meletakkan makanan itu di kotak di belakangnya. Kemudian motor melaju menuju rumah pemesan.

***

"Pizanya udah dateng, tuh! Yuk, ke depan!" Jihan berseru melihat ponselnya berbunyi, menandakan pengemudi sudah dekat. Keempatnya ramai-ramai ke depan rumah Jihan, menunggu pengemudi. Akhirnya tidak sampai tiga menit kemudian, pengemudi itu tiba di depan rumah Jihan. Sementara yang lain sibuk mengambil pesanan, Tiara mengambil struk pesanan yang diserahkan pengemudi. Ia melihat daftar makanan yang ia pesan."Loh, kita beli tiga piza? Enggak kebanyakan?" tanyanya dengan kening berkerut. Ketiga temannya terdiam, menghitung kotak piza di genggaman Jihan."Loh iya, coba bentar gue liat dulu di dalem." Keempatnya meminta pengemudi menunggu karena rupanya uang untuk membayarnya belum diambil.

"Bener, kita kelebihan nih pesannya. Gue kira tadi piza ini belum dipesan, jadi gue tambahin aja," tutur Jihan."Gue juga jadi enggak ngecek lagi pesanan sama harganya, gue bilang ke Jihan langsung pesan aja," timpal Tiara.

***

Dika menunggu empat perempuan tadi dengan sabar. Setelah ia menerima uang itu, ia akan segera pulang. Rasanya hari ini ia tidak terlalu bersemangat seperti biasanya.

Tak lama, perempuan yang tadi mengambil piza keluar.

"Mas, ini buat mas, ya. Soalnya ini pesanan aku sama temen-temen kebanyakan, takut enggak habis malah mubazir." Diberikannya sekotak piza pada Dika. Dika terdiam sejenak."Enggak mau, mas?" tanya perempuan itu bingung."Mau ... Mau, kak. Makasih banyak kak." Dika mengambil kotak piza itu."Hari ini hari ulang tahun saya kak, jadi piza ini bisa jadi kue ulang tahun. Makasih banyak kak." Dika tak henti-henti berterima kasih pada perempuan itu. Sementara Dika sedang memasukkan piza ke dalam kotak di motornya, perempuan tadi masuk ke dalam dan kembali keluar bersama ketiga temannya tadi.

"Mas, sini tiup lilinnya dulu. Mas ulang tahun, kan? Nih, saya ada lilin ulang tahun!" Rupanya keempat perempuan itu membawa sekotak piza yang sudah ditancapkan lilin yang sudah menyala. Dika menolak, tapi keempat perempuan itu memintanya segera meniup lilin setelah berdoa."Ada ponsel, kan? Boleh pinjem, enggak?" tanya salah satu dari keempat perempuan itu. Dika tidak bertanya untuk apa ponselnya, ia hanya mengambil ponsel itu. Dan gadis tadi membuka kamera."Kita foto dulu mas, buat kenang-kenangan ulang tahun mas di tahun ini dirayain sama kita!" ujarnya. Dika tersenyum, demikian dengan empat perempuan itu.

Comments

Popular posts from this blog

Validasi yang Dibutuhkan

Satu Hal yang Kini Tidak Lagi Kutakutkan; Ditinggalkan

Apakah semua orang yang berusia 21 tahun mengalami hal seperti ini?