Uang itu kebahagiaan. Kebahagiaan itu keluarga

Keluargaku adalah keluarga yang sederhana. Justru kalau aku boleh bilang, terlalu sederhana. Atau lebih pantas disebut kekurangan, aku tak tahu pasti. Yang jelas, kami seringkali menjual sesuatu meski baru membelinya selama beberapa waktu. 

Waktu itu, aku pernah minta dibelikan sepeda roda dua untuk berangkat ke sekolah. Sebetulnya aku tidak terlalu menginginkannya, tapi nyaris semua anak-anak di sekolahku sudah naik sepeda ke sekolah. Tidak lagi jalan kaki, sehingga semua datang tepat waktu. Tapi tidak denganku. Setiap hari, aku harus berjalan paling tidak 20 menit untuk sampai ke sekolah. Kalau aku bangun kesiangan, maka aku sudah pasti tidak boleh masuk gerbang sekolah. Kalau boleh pun, aku akan dihukum selama jam pelajaran pertama. Berdiri di sebelah tiang bendera dan menjadi pusat perhatian seisi sekolah.

Bapak saat itu benar-benar membelikanku sepeda. Meski sepeda bekas, bagiku tidak terlalu penting karena kondisinya masih sangat bagus. Persis seperti sepeda baru. Tapi belum seminggu aku memilikinya, sepeda itu harus dijual karena biaya sekolahku belum bisa dibayar sementara ujian kenaikan kelas akan segera datang. Kalau tidak bayar, tidak boleh ujian. Begitu aturannya. Akhirnya dengan berat hati, aku melepas temanku selama beberapa hari itu. Setelahnya aku tidak pernah meminta sepeda lagi, karena aku takut sepeda itu akan dijual kembali seperti sebelumnya.

Lain waktu ketika Bapak memutuskan membeli sepeda motor. Ini benda paling mahal yang pernah dibeli keluargaku. Tapi belum sampai satu bulan kami memilikinya, Bapak menjual motor itu. Katanya lebih baik ke sana sini jalan kaki, lebih sehat. Padahal aku tahu, saat itu biaya untuk sekolah adikku belum lunas. Dia harus masuk SD dan membeli banyak perlengkapan, jadi motor dijual untuk membayar semuanya.

Aku tidak tahu apa yang selama ini Bapak lakukan di luar. Biasanya pagi-pagi sekali Bapak bangun dan sholat subuh. Setelah itu Bapak duduk di atas sajadah cukup lama sambil mulutnya berkomat-kamit mengucapkan doa. Mungkin doa agar ada hujan uang, aku tidak tahu. Mungkin berdoa untuk keselamatan keluarganya, aku juga tidak tahu. Setelah itu Bapak akan minum kopi susu buatan Ibu yang biasanya bangun lebih dulu dari Bapak. Setelah itu Bapak akan langsung berangkat setelah gelas kopinya kosong. Setiap hari pekerjaan Bapak berubah. Kadang jadi kuli bangunan, kadang jadi tukang angkat barang kalau ada yang memerlukan, kadang jadi supir mobil bak pengantar barang, apa saja Bapak lakukan. Kalau di sekolah diberikan formulir dan ditanyakan pekerjaan Bapak, aku akan menjawab,"Bapak saya banyak pekerjaannya."

Bapak akan pulang ketika hari sudah sangat gelap, menjelang malam. Ketika aku dan adikku sudah terlelap. Jadi kami seringkali tidak bertemu Bapak padahal kami serumah. Karena Bapak bangun dan berangkat ketika kami masih tidur, dan pulang ketika kami sudah tidur.

Beda cerita dengan Ibu. Ibu biasanya membantu tetangga masak. Kalau ada acara pernikahan dan semacamnya, Ibu akan dimintai tolong untuk membuatkan ini dan itu. Masakan Ibu memang cukup enak. Kalau sedang tidak ada yang butuh bantuan, Ibu biasanya keliling mencari orang-orang yang butuh tukang jahit. Ya seperti kebanyakan Ibu pada umumnya, kemampuan Ibu adalah menjahit. Dengan mesin jahit yang sudah ia miliki selama puluhan tahun, Ibu mengumpulkan uang dari sana. Tidak jarang setelah keliling seharian Ibu tidak dapat pesanan apa pun. Tapi aku tidak pernah melihat Ibu mengeluh, dia selalu tersenyum. Entah senyum itu senang, atau kesedihan.

Sebenarnya kalau bicara soal mengeluh, Bapak dan Ibu tidak pernah mengeluh. Hanya sesekali aku mendengar percakapan mereka secara tak sengaja soal uang yang sudah sisa sedikit. Di depan kami, anak-anaknya, Bapak dan Ibu selalu bertanya apa yang kami inginkan seolah-olah mereka akan membelikannya. Padahal aku tahu, untuk makan hari ini saja belum tentu ada. Tapi mungkin semua orang tua seperti itu. Tidak mau kelihatan kurang di depan anak-anaknya dan harus terlihat punya banyak uang. 

Suatu hari, aku diberikan tugas oleh guruku di sekolah. Kami diminta menggambarkan kebahagiaan kami. Kalau aku senang dengan sepeda, maka aku diminta menggambar diriku dan sepeda. Kalau aku suka makan, maka aku akan menggambar makanan yang kusuka. Intinya, kami harus menggambar apa pun yang bisa membuat kami senang. 

Aku sudah menulis judul "KEBAHAGIAAN" pada bagian atas kertas. Tapi aku tidak tahu apa yang harus kugambar. Aku tidak tahu apa yang bisa membuatku bahagia, karena rasa-rasanya selama ini aku belum pernah merasa begitu bahagia. Akhirnya aku memutuskan untuk bertanya pada Bapak yang hari itu tidak pergi bekerja.

"Pak, apa yang bisa membuat Bapak bahagia?" tanyaku. Bapak sempat menatapku beberapa saat kemudian menjawab,"Saat ini ya uang," jawabnya sambil cengengesan. Aku mengangguk beberapa kali."Kalau kebahagiaan itu, apa Pak?" tanyaku lagi. Kali ini Bapak terdiam cukup lama."Mungkin uang?" Bapak sendiri ragu dengan jawabannya. Maka aku kembali ke depan kertasku. Apakah aku harus menggambar uang? Tidak, itu kan kebahagiaan Bapak.

Akhirnya aku menghampiri Ibu yang sedang memasak di dapur."Bu, apa yang bisa membuat Ibu bahagia?" tanyaku. Ibu tersenyum, meski pandangannya tak lepas dari masakan di hadapannya."Kebersamaan," jawabnya. Ah, jawaban Ibu terlalu sulit. Bagaimana bisa aku menggambar "kebersamaan" di sana? Kebersamaan kan bukan benda."Sekarang Ibu bahagia enggak, Bu?" tanyaku. Ibu mengangguk. Kutanya lagi,"Jadi, kebahagiaan menurut Ibu itu memasak?" kataku. Ibu menggeleng sembari tertawa. Setelah mematikan kompor, ia mensejajarkan tubuhnya denganku.

"Kebahagiaan buat Ibu ya kamu, adikmu, dan Bapak. Itu yang bisa membuat Ibu bahagia," tuturnya. Aku tidak mengerti. Bagaimana mungkin kami semua bisa membuat Ibu bahagia? Kami kan tidak menghasilkan uang. Kecuali Bapak."Kenapa bukan uang Bu, biar jawabannya sama kayak Bapak?" tanyaku. Ibu tersenyum."Bapak pasti bercanda jawab itu. Ibu yakin jawaban Bapak sama kok kayak Ibu. Kebahagiaan orang tua ya kalau keluarganya kayak kita gini. Bisa kumpul sama-sama, bisa ketawa sama-sama, susah dan senang dilewatinnya sama-sama," jelas Ibu."Emang dengan begitu, Ibu bisa merasa bahagia? Dari mana Ibu tahu kalau Ibu bahagia?" Aku tidak berhenti bertanya."Bisa, dong. Keluarga itu kan penyemangat Ibu. Kamu, adikmu, dan Bapak, semuanya alasan Ibu harus semangat jalanin apa yang ada. Kalau kita semua sehat, Ibu bahagia. Kalau kita semua bisa sama-sama, Ibu bahagia. Kebersamaan yang ada di keluarga kita itu yang buat Ibu bahagia," ujar Ibu. Aku mengangguk meski saat itu belum terlalu mengerti apa yang Ibu katakan. Mungkin kebahagiaan bukan tema yang tepat untukku.

Aku kembali menghadap kertas. Aku mengingat kata-kata Ibu dan Bapak soal kebahagiaan. Uang dan kebersamaan, begitu kata mereka. Akhirnya aku tahu apa yang harus kugambar.

Aku gambar Bapak, Ibu, adik, dan aku. Tidak lupa aku menggambar lembaran uang di tangan Bapak. Sampai kemudian hari aku tahu, keduanya memang benar. Uang bisa membuat bahagia. Keluarga juga bisa membuat bahagia. Kebersamaannya, kesediannya menerima anggota keluarga yang penuh kekurangan. 

Comments

Popular posts from this blog

Validasi yang Dibutuhkan

Satu Hal yang Kini Tidak Lagi Kutakutkan; Ditinggalkan

Apakah semua orang yang berusia 21 tahun mengalami hal seperti ini?