Papa
Suatu hari, aku sedang duduk di bangku kelas bersama puluhan teman-temanku. Kami tengah mengerjakan soal ketika pintu kelas diketuk oleh seorang anak dari kelas sebelah. Pintu terbuka, mata anak laki-laki tertuju padaku yang secara kebetulan duduk di barisan paling depan. Tepat di pojok, memudahkan matanya untuk mencariku. Dengan wajah sedikit canggung, ia membuka mulutnya,"Itu, kakek kamu nyariin di bawah." Terdengar seorang anak berbicara secara spontan,"Kakek? Hahaha, rajin banget kakeknya nyamperin ke sekolah." Aku terdiam sejenak, kemudian bangkit dari kursi. Kupikir tidak perlu menanggapi omongan anak itu. Toh, dia tidak tahu apa-apa. Anak laki-laki tadi lantas pergi dari depan kelas dan kembali ke kelasnya. Aku meminta izin pada guru untuk menemui seseorang yang anak tadi sebut sebagai kakekku. Aku tahu itu bukan kakek. Kakekku sudah meninggal jauh sebelum aku duduk di bangku sekolah ini. Tidak ada keluarga besarku yang tahu di mana aku bersekolah. Bukan hal penting yang harus diberitahu pada keluarga besar. Setelah menemui orang yang mendatangiku tadi, aku kembali ke kelas. Guruku yang memang sudah mengenal keluargaku membuka mulut sembari tersenyum,"Papa, ya?" Aku mengangguk. Hanya guru itu yang mengerti. Tidak ada kakek. Hanya papa.
Lain waktu, kami sekeluarga pergi ke mal. Aku ingat itu malam minggu, mal cukup penuh dan ramai. Ah, benar. Ibu tidak ikut saat itu karena sedang di luar kota. Menemui saudara yang tengah masuk rumah sakit karena menderita demam berdarah. Jadi kami sekeluarga pergi ke mal tanpa ibu."Bisa tolong titip mereka sebentar? Saya harus ke ATM, tidak sampai 5 menit." Sosok laki-laki yang pergi bersama kami itu bicara pada dua orang penjaga toko sembari menunjukku serta kakak dan adikku. Penjaga toko itu mengangguk dan tersenyum, mengiyakan permintaan sosok tadi. Setelah sosok laki-laki yang tidak gagah lagi itu pergi, seorang dari penjaga toko itu membuka mulutnya."Pergi sama kakeknya ya?" Matanya mengarah pada kami bertiga. Aku menjawab dengan cepat."Bukan. Itu papa." Wajah penjaga toko itu terlihat tidak enak karena mengira papa adalah kakek. Aku tahu maksudnya. Semua orang tahu bahwa papa bukan lagi orang tua yang berwajah muda. Tentu saja. Papa tidak menikah muda. Ditambah sudah memiliki anak, bukan hal aneh jika orang lain melihat banyak kerutan di wajah papa. Tapi bagiku, wajah itu bukan hanya wajah orang tua yang terlalu tua. Itu wajah kerja keras berpuluh-puluh tahun.
Papa, meski banyak orang yang melihatnya sebagai sosok yang lebih "cocok" disebut kakek, akan selalu kupanggil papa sampai kapanpun. Meski wajahnya tidak muda lagi seperti wajah orang tua teman-temanku, aku tahu ia tetap orang tuaku. Bukankah wajah bisa memperlihatkan kerja keras seseorang? Kerutan yang kerap bertambah banyak, tubuhnya yang tidak lagi tegap tapi tetap bugar dan bisa berjalan tanpa bantuan dari orang atau bantuan lain, gaya berpakaiannya yang masih selalu mengikuti gaya pakaian terkini dan sesekali memakai pakaian bermerek mahal. Papa memang tidak muda lagi. Papa memang tidak gagah lagi seperti kebanyakan orang tua teman-temanku. Tapi papa akan selalu terlihat gagah di mataku, kakaku, adikku, juga ibuku. Papa akan selalu terlihat sebagai sosok pekerja keras, yang tidak pernah malu mengatakan bahwa kami adalah anak-anaknya. Papa tidak malu terlihat tua. Papa menunjukkan bahwa sudah ada banyak sekali kejadian yang pernah papa alami. Papa sudah berpengalaman dalam banyak hal. Asam manis kehidupan sudah pernah dinikmatinya. Papa tahu apa yang baik, papa tahu apa yang buruk. Papa memang tua. Tapi papa selalu memiliki semangat sebagai anak muda. Papa tidak pernah berhenti mencoba. Papa tidak pernah berhenti berusaha untuk anak-anaknya.
Beberapa waktu, aku merasa malu karena merasa papa sudah terlalu tua untuk menjadi orang tuaku. Aku merasa malu karena papa berbeda dengan orang tua teman-temanku. Tapi aku lupa, bahwa papa justru sudah lebih berpengalaman dari mereka semua. Keriput di wajahnya menunjukkan kerja kerasnya sepanjang hidup. Tapi sekarang tidak lagi. Papa tidak malu terlihat tua. Papa tidak malu menyebut kami sebagai anak-anaknya, meski banyak orang mengira kami adalah cucu-cucunya. Papa tidak malu terlihat berbeda dari kebanyakan orang tua. Papa tahu, bahwa papa akan tetap menjadi orang tua meski wajahnya tidak muda lagi. Karena itu, aku tidak malu papa berbeda dengan orang tua teman-temanku. Papa akan tetap menjadi papa untuk selamanya. Kemarin, hari ini, dan besok. Sampai seterusnya. Papa akan tetap menjadi papa, aku akan tetap menjadi anak papa meski banyak orang mengira aku adalah cucunya.
Comments
Post a Comment