Apakah Kematian Akan Terasa Biasa Saja Untuk Beberapa Orang?

Karin terpaku, menatap sosok yang sedang berbaring di hadapannya. Suara berisik di sekelilingnya kalah dengan suara berisik di kepalanya sendiri. Ratusan pertanyaan mendadak ia tanyakan pada dirinya, meski ia tahu tidak pernah ada jawaban yang tepat untuk tumpukan pertanyaan itu. Ia memeluk kedua lututnya, menyandarkan kepala ke dinding di belakangnya. Orang-orang berlalu lalang melewatinya, tanpa bertanya apa pun. Nyaris ia merasa tidak ada di sana karena sepertinya orang-orang tidak menganggapnya ada. Di ujung kanan, di sudut ruang tamu yang kecil itu, adiknya tengah duduk diam mendengar berbagai hiburan yang dilontarkan sanak saudaranya. Menceritakan cerita humor yang sesekali membuatnya tersenyum, walau hanya untuk menghormati si pencerita. Bagaimana mungkin ia bisa tertawa setelah kematian itu datang? Mungkin orang-orang terlalu bodoh untuk berpikir mereka akan bisa menghiburnya.

"Hei." Sebuah suara yang Karin kenali terdengar dari sebelah kanannya. Sosok itu kemudian duduk di sebelahnya. Laki-laki yang aroma tubuhnya ia kenali betul, tanpa perlu melihat siapa yang memakai parfum itu."Bukannya hari ini kamu kerja?" Karin menoleh pada Gema."Iya, tapi aku izin setengah hari," jawab laki-laki itu santai. Keduanya terdiam lagi, sibuk dengan pikiran masing-masing."Mana ayahmu?" tanya Gema kemudian, menyadari sosok laki-laki yang biasa ia temui ketika berkunjung ke rumah Karin tidak ada."Ayah pergi dari semalam, entah ke mana. Ponselnya enggak bisa dihubungi," jawab Karin."Jadi ayahmu belum tahu kalau ibu meninggal?" tanya Gema lagi. Karin mengangguk."Mau coba cari?" ajak Gema. Karin menoleh, kemudian kembali menatap sosok di hadapannya sambil tersenyum kecil."Buat apa? Memang dia ada waktu untuk menemani ibu sekarang?" tanyanya. Gema menghela napas."Rin, ini bukan waktunya untuk itu. Ayahmu harus tahu sebelum ibu dimakamin nanti, kan?" Karin turut menghela napas panjang."Kalau ia tahu rumahnya di sini, seharusnya ia pulang tanpa aku minta. Dua malam dia pergi tanpa kasih kabar, menurutmu aku masih harus cari dia?" Gema diam. Ia tahu Karin tidak akan mengubah keputusannya untuk diam tanpa mencari ayahnya. Meski dalam hati laki-laki itu, ia juga tahu kalau ayah Karin harus diberitahu soal ini.

Semakin siang semakin banyak orang yang datang. Karin masih duduk di tempat yang sama, tidak memperdulikan puluhan tamu yang datang ke rumahnya. Suara tangisan masih terdengar tiap kali ada saudara yang datang. Mungkin adik ibu, atau saudaranya yang lain. Karin tidak ada tenaga untuk menyapa mereka satu per satu. Energinya sudah digunakan untuk menangis semalaman penuh.

"Mbak Karin, ibu mau dimakamin kapan? Udah makin siang mbak, apa enggak sebaiknya dimakamin cepat-cepat aja?" Seorang perempuan yang usianya sekitar 40 tahun itu menghampiri Karin dan Gema."Aku tunggu ayah dulu tante, kalau setengah jam lagi belum datang, langsung makamin aja," jawab Karin. Perempuan tadi kemudian bangkit dan meninggalkan Karin, bergabung dengan saudara-saudaranya yang lain."Menurutmu ayah bakal datang, enggak?" tanya Karin. Gema diam sejenak."Mungkin," katanya. 

Setengah jam berlalu tanpa ada perubahan apa-apa selain isak tangis yang mereda. Akhirnya Karin beserta saudaranya yang hadir sepakat untuk segera memakamkan ibunya, meski ayahnya belum ada di sana. Toh Karin sudah memberi waktu cukup lama menunggu ayahnya datang. Setelah berganti pakaian, Karin memasuki mobil jenazah bersama adiknya dan beberapa saudara yang lain. Selama perjalanan mobil hening, tidak ada yang berani bersuara sedikit pun.

Hari itu matahari cerah, membuat Karin tenang karena tidak akan hujan saat ibu dimakamkan. Karin menggigit bibirnya dengan keras, menahan tangis. Sementara Gema tengah merangkul Karin, berharap itu akan membuat Karin sedikit lebih tegar.

Pemakaman ibu berjalan lancar. Sebagian besar keluarga sudah pergi meninggalkan makam setelah berbasa-basi memberikan kata-kata penyemangat untuk Karin dan adiknya, Dea. Karin tengah duduk di samping makam ibunya, diam dan hanya menatap batu nisan bertuliskan nama lengkap ibu. Tiba-tiba seorang laki-laki duduk di sebelah kirinya dan memegangi batu nisan itu."Kenapa kamu enggak beritahu ayah kalau ibu meninggal?" Laki-laki itu memulai percakapan."Kenapa ayah enggak pulang walau tahu ibu kritis kemarin malam?" balas Karin. Laki-laki yang ia panggil ayah itu kemudian diam dan menatap Karin."Kamu kan tahu, pekerjaan ..." Karin memotong ayahnya sebelum menyelesaikan kalimatnya."Iya. Itu dia kenapa aku enggak kasih tahu ayah kalau ibu meninggal. Di atas apa pun, ayah akan selalu pilih pekerjaan ayah, kan? Aku udah hubungin ayah, kasih tahu kalau ibu pasti butuh sosok ayah di saat-saat terakhirnya. Apa yang ayah pilih? Tetap kerja, kan? Buat apa ayah cari uang banyak buat keluarga ayah, kalau ayah bakal kehilangan semuanya?" Karin bangkit, menarik tangan Gema dan keluar dari area pemakaman. Keduanya kemudian masuk ke dalam mobil Gema yang tak lama kemudian berjalan tanpa tahu akan ke mana.

"Kamu mau makan?" tanya Gema. Karin menggeleng."Mau ke kafe? Makan donat cokelat yang kamu suka. Kamu pasti belum makan dari semalam," ajak Gema. Lagi-lagi Karin menggeleng."Mau makan apa? Soto ayam di deket kampus? Atau ayam bakar deket rumahku? Sorean dikit sate yang kamu suka juga buka, sih. Mau yang mana?" tanya Gema untuk ketiga kalinya."Enggak mau makan." Karin menatap jalanan tanpa mempedulikan Gema. Laki-laki itu kemudian berhenti di depan sebuah kafe kesukaan Karin."Yuk," ajak Gema. Tidak ada pilihan lain, Karin akhirnya turun dan mengikuti Gema yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kafe.

Gema duduk di hadapan Karin sambil membawa 2 donat cokelat dan satu minuman matcha. Menu yang selalu Karin pesan di kafe ini. Kali ini mereka memilih bangku di bagian outdoor kafe. Karena bukan jam makan siang, kafe ini sepi. Hanya ada beberapa meja yang terisi di bagian dalam.

"Makan dulu, satu aja gapapa. Kamu kecapekan pasti dari semalam," kata Gema. Karin yang sebetulnya memang lapar akhirnya mengambil donat itu dan memakannya. Tidak sampai 3 menit donat itu sudah habis. Ia kemudian mengambil donat yang satunya, dan langsung menghabiskannya.

"Makanya kalau lapar bilang aja," tawa Gema melihat Karin menghabiskan 2 donat dalam waktu yang singkat."Sayang, kamu udah beli. Masa enggak dimakan." Karin bela diri. Minuman matcha di hadapannya tinggal setengah gelas. Rasanya udah lama dari terakhir kali ia datang ke kafe ini karena beberapa waktu belakangan waktunya banyak dihabiskan di rumah sakit. Pikirannya kembali melayang pada adiknya yang selalu mengorbankan waktu untuk ibunya demi urusan sekolahnya. Karin mengerti karena ia pernah SMA. Karin mengerti kalau bersenang-senang dengan teman di SMA adalah hal yang hanya akan bisa terjadi satu kali seumur hidup. Tapi tampaknya Dea tidak mengerti kalau menemani ibu di saat-saat kritisnya juga akan terjadi satu kali seumur hidup.

Keduanya terdiam untuk beberapa saat, sampai kemudian ponsel Karin berbunyi. Ia menatap layar ponselnya, mematikan panggilan yang masuk, dan mematikan ponselnya. Ponsel itu ia letakkan begitu saja di atas meja di hadapannya.

"Siapa?" tanya Gema."Dea," jawab Karin merasa enggan menyebutkan nama itu."Kenapa enggak diangkat?" tanya Gema lagi."Dia cuma butuh bantuan buat ngatasin rasa sedihnya. Aku sendiri masih sedih, enggak bisa bantu dia. Toh, dia punya banyak orang untuk menghiburnya." Karin melemparkan pandangan pada jalan raya. Kendaraan berlalu lalang tanpa henti. Sepertinya semua orang bersenang-senang hari ini.

Gema menggeser kursinya ke sebelah Karin. Gadis itu tidak bereaksi apa-apa, pandangannya masih tertuju pada kendaraan yang melintas dan sesekali membunyikan klakson."Dea butuh kamu sekarang, kan?" tanyanya. Karin menoleh ke sebelah kanan, ke mata laki-laki itu."Dan aku lagi butuh diriku sendiri," katanya tegas."Kalian harusnya saling menguatkan, kan?" Gema mengingatkan. Karin menghela napas panjang."Saling menguatkan? Selama ibu dirawat, dia ke mana? Pernah dia nguatin aku? Pernah dia ingat kalau ibunya ada di rumah sakit dalam keadaan kritis? Pernah dia ingat untuk pulang ke ibu? Pernah dia korbanin sekolah dan teman-temannya untuk ibu? Menurutmu, aku harus nguatin anak kayak dia? Kamu lihat tadi di rumah? Semua orang menghibur Dea, semua orang ke Dea untuk menguatkan dia. Tapi enggak ada satu pun orang Ge, satu orang pun yang hampirin aku selain kamu. Enggak ada satu orang pun yang nemenin aku walau mereka tahu aku yang ada di samping ibu selama berhari-hari ibu di rumah sakit. Enggak ada yang peduli sama sedih yang aku rasain, mereka pikir Dea lebih muda dan dia lebih rapuh? Apa mereka enggak mikir bahwa semakin dewasa kita, kita akan semakin mengerti konsep kematian dan kehilangan? Kematian, baik untuk adik atau untukku, sama-sama menyakitkan. Aku yang lebih mengerti rasa kehilangan dibanding dia karena aku yang ada di samping ibu sampai napas terakhirnya. Aku yang ... mengerti sebesar apa rasa sakitnya." Air matanya menetes begitu saja. Akhirnya. Sejak semalam penuh kepalanya terlalu ribut untuk menangis. Gema mengambil tisu dan memberikannya pada Karin tanpa mengatakan apa pun.

Sekitar satu bulan lalu, ibunya mendadak sakit. Gema tidak tahu pasti apa yang terjadi karena Karin menolak menceritakannya, tapi ia tahu ibunya dalam kondisi yang kritis. Setiap selesai kelas di kampus, Karin pergi ke rumah sakit untuk menemani ibunya. Tidak pernah absen satu hari pun karena ia tahu tidak akan ada yang datang menemani ibu untuk menggantikannya. Adiknya tidak pernah mau ikut campur mengurus ibu dengan alasan banyak urusan sekolah yang harus dikerjakan. Sementara ayahnya berkunjung sesekali, hanya hitungan jari. Tidak jarang ayahnya tidak pulang karena menginap di kantor dan pulang keesokan harinya. Gema mengerti bahwa setelah ibunya meninggal, perasaan Karin tidak menentu. Ia merasa sedih dan marah kepada keluarganya. Ia kecewa karena tidak ada yang menghiburnya meski ia yang paling berkorban untuk ibu di saat-saat terakhirnya.

Keduanya terdiam untuk beberapa saat. Sampai Karin terlihat lebih tenang dan berhenti menangis, Gema memegang tangan perempuan itu."Menurutku, semua keluargamu enggak ada yang menghibur kamu karena mereka pikir kamu cukup dewasa untuk itu. Kamu udah bisa hidup sendiri, kamu punya pekerjaan, kuliahmu beasiswa, kamu bisa menghidupi diri kamu sendiri. Tapi enggak dengan adikmu. Dia masih butuh banyak banget peran orang tua dalam hidupnya. Dia sendiri pasti merasakan hal yang sama, kok. Dia pasti kehilangan arah sekarang. Dia bingung harus lari ke mana, ditambah ayahmu yang selalu mati-matian untuk kantornya. Pasti dia juga punya ketakutan sendiri setelah ibu meninggal, dan dia sangat butuh kamu untuk laluin semuanya," terang Gema."Memangnya ... ada orang yang cukup dewasa untuk menerima kematian?" Karin menatap kedua mata Gema dengan matanya yang masih basah."Ada. Saat kamu paham bahwa kematian itu cepat atau lambat akan datang, dan mengerti bahwa semua yang ada di dunia tidak pernah benar-benar jadi milik kita. Kalau kamu paham itu, kamu akan cukup mengerti soal kematian." Gema menjelaskan dengan suaranya yang lembut. Karin terdiam. 

Gema bangkit dan masuk ke dalam kafe untuk memesan minuman lagi untuk mereka berdua. Selain karena minumannya yang sudah habis, ia ingin memberikan waktu untuk Karin. Ia paham sekali bahwa Karin sedang hancur sekarang. Ia sangat dekat dengan ibunya, ia melewati banyak hal menyenangkan untuk menemani ibunya di rumah sakit. Tapi selama ini Karin tidak pernah mengeluh. Karin tidak pernah terpaksa melakukan itu karena ia tahu jika ia yang berada di posisi ibunya, ibunya akan melakukan hal yang sama. Melewati banyak hal untuk menemaninya.

Gema kembali sambil membawa 2 gelas minuman dan meletakkannya di hadapan Karin.

"Apa ... ayah dan Dea ngerasain sedih yang aku rasain ya, Ge?" Karin membuka pembicaraan kembali. Air matanya perlahan berhenti turun seakan air matanya sudah tidak tersisa lagi."Jelas," jawab Gema yakin."Kenapa ayah diam aja di pemakaman tadi? Kenapa ayah enggak nangis sama sekali? Dea juga enggak nangis, dia diam aja. Kenapa?" Gema terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab,"Cara setiap orang menghadapi kematian itu beda-beda. Enggak semua menangis saat ini. Enggak ada yang tahu kalau di perjalanan ayahmu ke pemakaman, ternyata beliau nangis. Enggak ada yang tahu kalau adikmu diam-diam nangis. Enggak ada yang bisa menebak cara seseorang menghadapi kematian orang lain," terangnya."Ya. Cara setiap orang menghadapi kematian orang lain berbeda, atau kematian memang terasa biasa saja untuk beberapa orang."

Comments

Popular posts from this blog

Validasi yang Dibutuhkan

Satu Hal yang Kini Tidak Lagi Kutakutkan; Ditinggalkan

Apakah semua orang yang berusia 21 tahun mengalami hal seperti ini?