Kakak

    Ibu diam dan menghela napas dalam-dalam. Ayah, yang duduk di sebelah kirinya, hanya melirik ibu sekilas dan kembali menatap kakak yang dahinya kini berkerut. Aku duduk di antara ibu dan kakak, bisa melihat semua ekspresi dari setiap anggota keluargaku. 

    "Sekali ini saja." Suara kakak memecah keheningan malam itu. Sejak tadi hanya itu yang diucapkannya pada ibu, tapi aku tidak melihat tanda-tanda ibu bahkan sedikit tertarik untuk menyetujuinya."Dia sudah kuliah bertahun-tahun, apa salahnya mengizinkan dia pergi kali ini?" Ayah membantu kakak membujuk ibu. Ibu menggeleng, sama seperti yang dilakukannya beberapa menit lalu."Untuk yang ini tidak," ujar ibu tegas. Ibu bukan orang yang sering marah atau merasa kesal, bahkan ketika kami melakukan kesalahan yang cukup besar. Namun kali ini aku bisa melihat dengan jelas bahwa ibu gusar dengan permintaan kakak. Ia terlihat ingin cepat-cepat bangkit dari kursi, masuk ke kamar dan menyelimuti seluruh tubuhnya sambil berusaha melupakan apa yang baru saja terjadi. 

    Kakak berdiri dari duduknya dan menatap ibu, tatapan yang tidak pernah aku lihat dari kakak sebelumnya."Bukankah aku sudah mengikuti semua kemauan ibu untuk kuliah kedokteran? Apa sekarang aku tidak bisa bersenang-senang setelah bertahun-tahun tersiksa?" Nada bicaranya meninggi dan itu membuatku khawatir apakah orang yang berlalu lalang di depan bisa mendengar pembicaraan kami. Ibu mendongak menatap kakak yang kini terlihat semakin marah."Apa selama ini ibu pernah tidak mengizinkanmu pergi? Ini pertama kalinya ibu tidak memberikan izin, kan? Apa tidak bisa mengikuti keputusan ibu yang ini?" Kali ini ibu berusaha memelankan nada suaranya dan tidak terpengaruh dengan kakak yang sedang dipeluk amarah."Memang ibu tidak tahu betapa penting dan menunggunya aku untuk acara jalan-jalan ini? Apa ibu tidak pernah memikirkan apa yang sudah kulalui selama bertahun-tahun kuliah kedokteran hanya untuk memenuhi keinginan ibu? Aku hanya minta izin, bukan minta uang atau apa pun yang memberatkan," protes kakak. Ibu diam selama beberapa saat, kemudian bangkit dari duduknya."Keputusannya tetap tidak. Kau berangkat atau tidak, ibu tidak peduli. Ibu tetap tidak mengizinkan, ada firasat buruk soal perjalanan itu." Ibu melangkah menuju kamarnya dan berhenti ketika kakak mengatakan,"Firasat buruk? Memangnya ibu punya perasaan seperti itu padaku? Tidak usah sok memakai naluri seorang ibu, ibu hanya tidak ingin aku bersenang-senang. Cukup sampai situ." Mata ibu memandang kecewa pada kakak, tapi dia tidak mengatakan apa pun. Ia kemudian masuk dan menutup pintu kamar.

    Aku menghampiri kakak yang sedang berkemas. Tangannya sibuk memasukkan ini dan itu ke dalam kopernya."Apa kakak benar-benar harus pergi?" tanyaku sambil duduk di sisi ranjangnya. Wajahnya yang tadi marah kini sudah melembut dan terlihat seperti kakak yang biasanya."Ayolah, ini hanya acara seminggu. Hanya 7 hari dan itu bukan waktu yang lama untuk bersenang-senang. Kau mau dibawakan apa nanti? Beritahu kakak," ujarnya dengan senyum lebar. Aku menggeleng."Aku hanya ingin kakak pulang dengan selamat, itu sudah cukup," jawabku pelan. Kakak menoleh padaku sekilas dan tertawa,"Apa-apaan ini? Apa kau memiliki naluri keibuan seperti ibu juga?" katanya dan terus mengemas barang-barang.

    Esok paginya, aku tidak melihat ibu di dapur atau di taman seperti biasanya. Ayah bilang ibu masih tidur di kamar dan aku mengerti. Ibu pasti takut kalau kakak tetap berangkat dan memang itu yang akan terjadi. Kakak sedang menunggu teman-temannya datang untuk menjemputnya sambil duduk di meja makan dan menikmati roti bakar buatan ayah.

    "Kalau sudah sampai langsung kabari kami," pesan ayah. Kakak mengangguk. Sejak bangun tadi ia bahkan tidak berhenti tersenyum."Berapa orang yang pergi?" tanyaku sambil duduk di sebelahnya."10. Kami akan ke pantai dan ke beberapa tempat wisata di sana, kudengar banyak tempat bagus selain pantainya. Entahlah, bukan kakak yang menentukan destinasi perjalanan," jelasnya sambil tetap mengunyah roti. 

    Sekitar 10 menit kemudian teman-teman kakak datang dan dia berangkat. Tanpa berpamitan pada ibu yang sudah pasti menolak menemuinya, kakak melangkah dengan ringan menuju mobil. Ia melambaikan tangannya dari kaca mobil yang terbuka bersama teman-temannya yang lain. Senyumnya masih menghiasi wajah sampai mobil itu kemudian menghilang dari pandanganku. Senyum yang masih kuingat sampai saat ini, karena itu senyum terakhir kakak yang pernah kulihat.

    Selepas kakak berangkat, ibu keluar dari kamar dan menuju dapur. Aku menawarkan secangkir teh tapi ibu menolak dan memilih memasak untuk makan siang. Tidak biasanya ibu memasak sepagi ini tapi itu mungkin untuk mengalihkan perhatiannya dan tidak ingat dengan kakak. Ibu adalah orang yang menolak perjalanan kakak sejak pertama kali ia memberitahukan rencananya. Selama ini ibu tidak pernah tidak mengizinkan aku ataupun kakak untuk pergi ke mana pun yang kami ingin, tapi yang kali ini ibu menolak dengan sangat tegas. Sementara kakak, dia menginginkan liburan bersama teman-teman satu jurusannya begitu lulus dari kampusnya. Kakak bilang ini adalah momen penting yang sudah ditunggu-tunggu sejak beberapa bulan lalu. Kejadian tadi malam bukan pertama kali terjadi. Sudah berulang kali ibu menolak memberikan izin pada kakak, tapi kakak tidak berusaha memahami ibu. Sementara ayah langsung menyetujui rencana perjalanan itu tanpa pikir panjang. Bahkan ibu dan ayah beberapa hari terakhir saling diam karena perbedaan pendapat mengenai izin kakak.

    Aku duduk di ruang tengah setelah ayah berangkat kerja. Saat ini sedang masa liburan sekolah dan aku memutuskan untuk terus berada di sisi ibu tanpa mengucapkan apa pun. Begitu juga dengan ibu yang tahu aku berada di sana tapi tidak mengatakan apa-apa, tangannya sibuk memotong ini dan itu. Sampai beberapa saat kemudian, ibu sudah selesai masak dan ia langsung masuk kamar tanpa mengatakan apa-apa. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan ibu sekarang, tapi aku bisa melihat matanya bengkak karena menangis. Apa ibu sangat takut dengan perasaan tidak enaknya mengenai kakak sampai menangis semalaman? Ini memang aneh karena ibu tidak pernah seperti ini, ibu tidak pernah melarang siapa pun pergi bersenang-senang. Kalau aku jadi kakak, mungkin aku akan memilih menerima keputusan ibu dibandingkan mengambil resiko akan ada sesuatu yang buruk terjadi. Toh, rencana perjalanan itu bisa dilakukan di lain waktu.

    Merasa tidak nyaman dengan ibu yang masih diam, aku memutuskan mengirim pesan pada kakak. Menanyakan kabarnya dan sudah sejauh mana perjalanannya. Kakak bilang dia mungkin akan sampai sekitar 5 jam lagi, dan seperti yang sudah ayah katakan padanya, ia akan mengirim pesan begitu sampai di tempat tujuan. Perjalanannya sedikit gila karena memilih naik mobil selama berjam-jam meski bisa menggunakan kereta yang jelas lebih cepat. Tepat setelah dapat balasan dari kakak, aku kembali ke kamar dan tidur.

    Sekitar pukul 2 siang aku bangun dan mengirim pesan lagi pada kakak, menanyakan apa dia sudah sampai. Karena berdasarkan pesan tadi pagi, saat ini seharusnya ia sudah sampai di hotel dekat pantai, destinasi pertamanya. Namun sampai 10 menit aku menunggu, belum ada balasan dari kakak. Ibu memanggilku untuk makan siang, jadi aku turun dan pergi ke meja makan.

    Suara penyiar berita memenuhi ruang tengah. Aku bisa mendengar suaranya dengan jelas karena letak meja makan dan ruang tengah bersebelahan. Ibu makan dengan diam, tangannya sibuk meletakkan makanan di meja dan menyuruhku makan. Ketika makananku sudah sisa setengah, sebuah berita menghentikan gerakanku dan ibu. Kami bangkit dari kursi dan berjalan cepat ke depan televisi. 

    "Kecelakaan beruntun telah terjadi di jalan X pukul 13.30 tadi. Penumpang yang jumlahnya belum diketahui ini dilarikan ke rumah sakit terdekat yang membutuhkan perjalanan 30 menit dari tempat kejadian. Kecelakaan diduga karena seorang pengemudi yang tidak dalam keadaan sadar membawa mobil dengan tak karuan, sehingga kecelakaan dengan mobil lain tak dapat dihindari. Satu dari tiga mobil itu jatuh ke jurang, diduga karena menghindari tabrakan mobil di depannya. Pengemudi diduga panik dan belok ke kiri, yang mana jalanan tidak ada pembatas yang cukup kuat untuk menahan mobil tersebut jatuh ke jurang ..."

    Ibu menoleh padaku cepat."Telepon kakakmu sekarang," katanya sambil duduk di kursi depan televisi. Aku berlari ke atas dan mengambil ponsel. Sambil berlari menuruni tangga aku terus mencoba menelepon kakak tapi ponselnya tidak aktif."Ponselnya tidak aktif," ujarku. Hanya terdengar suara operator di seberang sana."Tidak ada nomor temannya yang lain?" tanya ibu. Aku menggeleng. Aku bahkan tidak kenal dengan teman-teman yang pergi bersama kakak. 

    Sekitar 30 menit kemudian, ayah pulang setelah ibu meneleponnya dan memberitahu berita itu. Suara televisi terus terdengar dan kami semua berharap ada berita lagi mengenai kecelakaan itu, tapi semua isi beritanya sama. Tidak ada informasi lebih lanjut mengenai mobil yang turun ke jurang ataupun penumpang yang dilarikan ke rumah sakit. Sampai akhirnya jam 4 sore, berita itu datang.

    "Mobil yang jatuh ke jurang diketahui berisi lima orang yang sudah tewas ketika ditemukan petugas. Kondisi mobil dan penumpang hancur total sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk mengevakuasi. Mobil yang jatuh adalah rombongan yang akan pergi ke pantai X untuk liburan, sekumpulan mahasiswa yang baru saja lulus dari kuliahnya. Hal ini diketahui dari teman-teman yang pergi bersama mereka tetapi berada di mobil yang berbeda."

    "Di mobil itu ada lima teman saya, kita mau pergi ke pantai dan liburan selama seminggu. Ada Danielle, Max, Carl, Axel, dan ..." Aku, ibu, dan ayah sama-sama terdiam menunggu nama terakhir itu disebut. Berharap bukan nama kakak yang keluar dari bibirnya yang bergetar."Sarah," katanya menyebutkan nama terakhir itu. Detik itu pula, aku mendengar suara tangisan ibu yang belum pernah kudengar sebelumnya. Ibu tidak berhenti menangis dan menjerit menyebut nama kakak dengan matanya yang terus menatap layar televisi. Aku diam, berusaha memproses apa yang sedang terjadi. Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin kakak ada di mobil itu? Kenapa pengemudinya memutuskan menghindari tabrakan dan menjatuhkan diri ke jurang? Sementara ibu menangis dan ayah yang berusaha menenangkannya, mata dan telingaku tetap terarah ke layar televisi.

    "Saat kecelakaan itu terjadi kami sedang melakukan panggilan video dengan Danielle. Posisinya Axel yang menyetir, Carl di kursi penumpang, Max di belakang Axel, Danielle di tengah, dan Sarah di paling kanan. Kami melihat wajah mereka ketika kecelakan itu terjadi. Mereka menjerit, jeritan yang kurasa tidak akan pernah kami semua lupakan. Wajah mereka yang sebelumnya tertawa bersama kami mendadak penuh ketakutan. Wajah terakhir yang bisa kulihat sebelum ponsel itu mati adalah Sarah. Matanya berair, dan ia tidak menjerit seperti teman-teman lain yang entah mengucapkan apa. Hanya satu kata yang Sarah ucapkan sebelum akhirnya mobil itu benar-benar jatuh; ibu."

    Tidak ada yang bisa kupikirkan pada detik itu selain senyuman terakhir kakak dan lambaiannya yang penuh kebahagiaan. Namun satu hal yang kusyukuri, paling tidak beberapa menit sebelum kakak meninggal, ia tahu bahwa naluri ibu benar.

Comments

Popular posts from this blog

Validasi yang Dibutuhkan

Satu Hal yang Kini Tidak Lagi Kutakutkan; Ditinggalkan

Apakah semua orang yang berusia 21 tahun mengalami hal seperti ini?