Lupa Menjadi Manusia
Aku baru menyadarinya. Pada banyak kesempatan untuk merasakan banyak hal, aku sering melarang diriku sendiri untuk membiarkan perasaan-perasaan tertentu. Perasaan yang paling banyak kucegah adalah sedih meski pada akhirnya aku tetap menangis sampai air mataku mengering. Entah sejak kapan, aku mulai terbiasa untuk mencegah air mata turun terlalu banyak meski ada perasaan tidak nyaman setelah aku berusaha menghentikannya. Kepalaku terus mengatakan aku harus berhenti menangis, aku tidak seharusnya menangis, aku tidak seharusnya mengeluh tentang ini dan itu, aku tidak seharusnya merasa kecewa dan marah akan banyak hal, aku tidak seharusnya menyalahkan diri sendiri. Padahal setelah kupikirkan lagi, aku membutuhkan semua itu.
Ada terlalu banyak waktu di mana aku merasa harus berhenti merasakan satu perasaan saat itu juga meski tubuhku tidak mau mendengarnya. Setiap kali ingin mengeluh, kepalaku mengatakan aku tidak perlu mengutarakan itu karena bisa saja hal itu merusak mood orang lain yang membacanya. Siapa yang tahu orang yang tiba-tiba senang mendadak merasa sedih hanya karena melihat cuitanku di Twitter? Aku sangat menghindari itu. Sebisa mungkin, aku ingin membuat orang lain merasa senang dan nyaman dengan keberadaanku meski hanya melalui media sosial. Aku tahu itu hal yang terlalu besar karena ada terlalu banyak orang di dunia maya, tapi toh kepalaku tidak berhenti mengatakannya. Sampai akhirnya aku merasa tidak memiliki tempat untuk berkeluh kesah karena setiap kali ingin melakukannya, aku selalu berpikir bahwa apa yang kukatakan akan merusak perasaan dan hari baik bagi orang lain. Aku menolak semua perasaan dan emosi negatif dengan alasan yang tidak masuk akal untuk berulang kali. Meski aku harus menyimpannya dan tersiksa sendirian, aku tetap memilih tidak mengutarakannya. Namun kurasa aku tidak bisa melakukan ini lebih lama lagi karena sepertinya aku melupakan satu hal; bahwa aku juga manusia.
Setiap orang tentu ingin dianggap dan diperlakukan sebagai manusia, dan begitu juga denganku. Aku ingin orang lain memperlakukanku sebagai manusia, tapi aku sendiri tidak membiarkan diriku menjadi manusia seutuhnya yang bisa merasa sedih, marah, dan kecewa, juga manusia yang boleh mengeluh dan boleh menangis kapan pun aku membutuhkannya. Aku menolah perasaan-perasaan semacam itu hanya karena hari baik bagi orang lain padahal aku tahu aku sudah membuat hariku sendiri menjadi lebih buruk dengan menolak semua perasaan itu. Sepertinya, aku lupa cara memperlakukan diriku sendiri sebagai manusia. Menolak merasa sedih dan harus bersemangat setiap saat, mengusahakan yang lebih baik meski tahu aku sudah memberikan yang terbaik yang kubisa. Siapa yang tidak merasakan perasaan-perasaan tadi? Bukankah itu hal normal yang dialami oleh semua manusia? Kenapa aku menolak sesuatu yang sudah menjadi milik manusia sejak lahir? Kenapa aku menentang apa yang sudah ada hanya untuk menjaga perasaan orang lain? Padahal, orang lain tidak merasa sungkan untuk mengeluh tentang apa pun. Tapi aku justru terlalu banyak memikirkan perasaan orang lain sebagai manusia pada umumnya dan melupakan fakta bahwa aku juga manusia yang sama seperti semua orang.
Comments
Post a Comment