Belajar Sembuh dengan Menjadi Sadar

    Beberapa waktu lalu, aku mendengar sebuah kalimat yang membuatku kesal tapi juga memikirkan banyak hal dalam satu waktu. Sebetulnya, kalimat ini bukan kalimat yang ditujukan untukku. Tapi secara kebetulan aku mendengarnya dan tentu merasa tersinggung karena apa yang mereka katakan tentang "orang yang mereka maksud" adalah tentangku juga. Terlebih lagi, hal ini dikatakan oleh orang terdekatku. Tahu kan, beberapa hal menyakitkan justru terasa jauh lebih sakit ketika orang terdekat kita yang mengatakannya?

    Saat itu aku tidak tahu apa yang persisnya terjadi sampai akhirnya kalimat itu keluar. Kalimat yang berbunyi,"Buat apa sih ke psikolog? Gaya gaya aja!" Hehe. Terlihat seperti sebuah cerita fiksi ya, ada orang yang bisa keluarin kalimat itu dari mulutnya tanpa rasa bersalah sedikit pun bahkan sampai detik ini. Sebagai orang yang pernah rutin konsultasi selama berbulan-bulan, bohong kalau aku merasa tidak sedih atau sakit hati dengan kalimat itu. Bayangin, bayar mahal untuk ke psikolog cuma untuk merasa lebih baik, ternyata dibilang itu gaya? Padahal, siapa yang mau bayar mahal cuma untuk didengerin kalau aja diri sendiri bisa membuat semuanya lebih baik? Rasanya enggak ada. Mungkin lebih baik uangnya dipakai jajan es krim.

    Beberapa hari terus berlanjut sampai akhirnya aku berani mengatakan itu pada seseorang yang kutahu. Kutahu, tapi kami tidak saling kenal. Jawaban darinya sedikit membuat terkejut tapi tidak besar. Katanya,"Siapa yang bilang gitu? Kasian enggak, sih?" Kurang lebih seperti itu. Jadi, jawaban dia atas kalimat yang menyebalkan tadi adalah, bahwa dia kasihan sama orang itu. Dan akhirnya, aku jadi memikirkan sesuatu.

    Apa yang ada di dalam kepala orang-orang yang pernah kasih kalimat yang nyakitin orang lain, tapi sebetulnya mereka enggak sadar kalau kata-kata mereka itu nyakitin seseorang? Mungkin mereka ucapin itu dengan spontan, mungkin mereka lagi dipeluk marah yang besar, atau mungkin ada sesuatu dalam diri mereka yang merasa enggak terima dengan keberhasilan orang lain. Kebayang enggak, serumit apa isi kepala mereka sampai akhirnya perasaan yang buat mereka enggak nyaman itu, diluapin dengan cara melimpahkannya ke orang lain dalam bentuk yang enggak mereka sadari? Bisa jadi, mereka enggak pernah berniat untuk bikin seseorang terluka. Tapi karena ada perasaan yang mereka tahan dan enggak pernah bisa keluar karena mereka enggak tahu gimana caranya, akhirnya emosi itu keluar dengan sendirinya ketika diri mereka merasa,"Harusnya dia enggak begini karena dulu aku pun enggak begini."

    Dalam beberapa hal, beberapa orang merasa apa yang terjadi di sekitarnya itu salah hanya karena "dulu" mereka enggak pernah dapat itu. Mereka enggak tahu-menahu soal itu. Sesederhana dia berpikir bahwa untuk cari bantuan itu adalah "salah", cuma karena mereka enggak pernah terbiasa dengan minta bantuan dari orang lain selain keluarga. Bukan salah dia juga mungkin kalau dia enggak pernah minta bantuan. Beberapa enggak tahu dirinya butuh bantuan, beberapa merasa cukup dengan bertahan, beberapa lagi merasa keluarga adalah satu-satunya pihak yang perlu tahu segala hal dan mampu menyelesaikan semua hal rumit yang ada.

    Sayangnya, beberapa dari mereka mungkin enggak mau belajar bahwa dunia selalu bergerak dan berubah. Apa yang enggak pernah mereka alamin, bukan berarti salah. Jadi, bukannya kita, sebagai orang yang terluka karena sikap mereka, justru harusnya mengasihani mereka atas hal-hal yang enggak mereka ketahui? Akan lebih mudah bagi mereka untuk mengutarakan apa yang ada di dalam kepala saat itu, dibandingkan berpikir apa yang membuat mereka menganggap bahwa itu adalah sesuatu yang salah. Karena enggak semua orang sepeduli itu sama luka milik orang lain, terlebih lagi ketika luka di dalam dirinya sendiri aja dia enggak tahu gimana cara menyembuhkannya.

    Mereka mungkin berpikir kita adalah orang-orang yang patut dikasihani karena harus cari bantuan dari orang lain. Jadi enggak ada salahnya kalau kita berpikir sebaliknya. Mungkin, mereka adalah orang-orang yang patut dikasihani karena ada banyak hal yang belum mereka selesaikan dari masa lalunya. Orang yang terluka tapi enggak tahu dirinya terluka jelas akan lebih sulit sembuh dibandingkan dengan orang yang tahu di mana luka yang mereka punya. Apa yang mau disembuhkan kalau mereka aja enggak tahu di mana letak dari luka yang ada di diri mereka?

    Kasihani mereka, atas semua hal yang mereka pikir mereka ketahui meski nyatanya tidak. Beberapa orang memutuskan untuk berhenti belajar setelah memasuki fase baru. Mungkin, mereka salah satunya.

Comments

Popular posts from this blog

Validasi yang Dibutuhkan

Satu Hal yang Kini Tidak Lagi Kutakutkan; Ditinggalkan

Apakah semua orang yang berusia 21 tahun mengalami hal seperti ini?