Ia (aku)

    Kenapa semakin berusaha mengikhlaskan, justru rasanya semakin menyakitkan? Apakah keikhlasan selalu mengorbankan rasa sakit? Apakah ia bisa, bertahan pada waktu sampai ketika ia tahu bahwa keikhlasan tidak selalu memaklumi rasa sakit? 

    Ada banyak penolakan yang pernah ia temui dalam hidupnya dan ia berhasil mengikhlaskan semua itu. Tapi kenapa ia tidak bisa melakukan hal yang sama sekarang? Kenapa ia bahkan takut untuk mengikhlaskan seseorang padahal tidak pernah ada apa-apa di antara mereka? Bukankah ini hanya sebuah permainan, ajang untuk saling menghibur satu sama lain, dan sekarang ia menyerah untuk melakukannya lagi sebab ia membutuhkan sebuah jawaban? Jawaban yang tidak melulu menyenangkan, karena hanya jawaban dan kejelasan yang bisa membawanya ke jalan yang baru sekarang. Paling tidak, dengan adanya jawaban, ia tahu ke mana kakinya harus melangkah. Tahu apa yang harus dilakukan, juga tahu apa yang harus ditinggalkan. 

    Ketika jawaban itu tidak kunjung datang, akhirnya ia tersesat dalam perjalanan yang ia mulai sendiri. Ia menginginkan jawaban dari seseorang yang tidak pernah merasa diberi sebuah tanda tanya. Karena itu jawaban yang diinginkan tidak akan pernah bisa ia dapatkan, sebab si pemilik jawaban tidak tahu bahwa ada pertanyaan yang harus dijawab. Pun, meski ia tahu ada pertanyaan yang harus dijawab, apakah ia mampu menerimanya karena ia tahu jawaban yang dapat tidak akan pernah sejalan dengan apa yang ia inginkan? Mungkin, ketidakjelasan memang sebuah kejelasan.

Comments

Popular posts from this blog

Validasi yang Dibutuhkan

Satu Hal yang Kini Tidak Lagi Kutakutkan; Ditinggalkan

Apakah semua orang yang berusia 21 tahun mengalami hal seperti ini?