Kegagalan yang Melahirkan Kegagalan Lain

    Dalam beberapa tahun terakhir, aku mengalami beberapa kegagalan yang terjadi dalam rentang waktu yang cukup sebentar. Dan setelah melaluinya sampai akhirnya tiba pada hari ini, aku menyadari bahwa semakin banyak kegagalan yang kuhadapi, membuatku menyikapi berbagai bentuk kegagalan itu sebagai sesuatu yang biasa saja. Sesuatu yang hanya menjadi salah satu proses dalam hidup, yang bisa kuperbaiki di hari yang lain.

    Kegagalan besar pertamaku sepertinya terjadi ketika aku lulus SMA. Sama seperti kebanyakan teman-teman, aku mengincar universitas terkenal. Saat itu kami diberikan pilihan dua kampus atau dua jurusan, dan aku memilih dua kampus dengan satu jurusan yang sama. Satu kampus yang kupilih adalah kampus yang menurutku masih memiliki kemungkinan untukku diterima, dan satu kampus lagi adalah kampus yang meski sangat kuinginkan tapi kemungkinan diterimanya jauh lebih sulit. Sejak awal aku tahu itu, tapi aku tetap ingin mengusahakannya. Alih-alih memilih kampus lain yang lebih memungkinkan, aku ingin mencoba agar jawabanku bisa berakhir pada ya atau tidak. Bukan tidak saja.

Sebelum aku mengikuti ujian masuk, aku terpilih menjadi salah satu siswa yang mendapatkan jalur seleksi rapot. Meski tidak berharap banyak, aku tetap berdoa sebanyak mungkin agar hasilnya sesuai dengan harapan. Nyatanya, dua kampus menolakku. Saat itu aku tidak terlalu banyak menghabiskan waktu untuk bersedih karena aku tahu itu seleksi yang sangat ketat, sementara nilaiku tidak istimewa. Meski bisa dibilang bagus, perguruan tinggi membutuhkan nilai-nilai yang sempurna. Artinya, bukan nilaiku yang masuk ke dalam standar mereka.

    Tidak berhenti di sana, aku mengikuti ujian masuk. Meski sudah menghabiskan banyak waktu untuk belajar dan berdoa, hasilnya masih tidak sesuai dengan apa yang kuinginkan. Aku ingat saat itu aku membuka pengumuman di dalam kamar mandi, duduk di atas kloset, kemudian menangis karena melihat warna merah di layar ponsel. Sekarang, empat kampus sudah menolakku. Meski masih ada banyak air mata yang ingin kukeluarkan, aku memilih untuk mencoba tes beasiswa di kampus swasta. Karena saat itu kondisiku tidak memungkinkan jika masuk tanpa beasiswa, aku mengira-ngira jalur yang mungkin bisa mempermudah prosesku diterima satu universitas. Lagi lagi, untuk kesekian kalinya, aku ditolak oleh dua kampus. Artinya sudah enam kampus yang menolak.

    Masih terekam jelas di kepalaku bagaimana aku mulai berhenti membuka media sosial karena banyaknya ucapan-ucapan selamat untuk teman-teman yang berhasil masuk ke perguruan tinggi. Saat itu, alih-alih ingin mengucapkan selamat pada mereka yang diterima, aku pun ingin diucapkan selamat atas pencapaianku. Nyatanya, yang ada di hadapanku hanya tumpukan kegagalan. Kegagalan yang semakin lama semakin menumpuk itu membuatku harus membuat pilihan lain. Akhirnya, beberapa bulan setelah kegagalanku yang terakhir (pada saat itu), aku memulai perjalanan baru yang sampai saat ini masih kutekuni.

    Satu kegagalan yang tidak kalah besar dan tidak kalah banyak adalah banyaknya penolakan dari penerbit. Semua orang sudah mengetahui betapa aku menginginkan menerbitkan bukuku sendiri. Bertahun-tahun pula aku menyusun naskah sebaik mungkin, tapi kenyataannya penerbit terus menolak semua naskah-naskah itu. Tidak hanya satu naskah, juga tidak hanya satu penerbit. 

    Saat pertama kali mengetahui bahwa naskahku ditolak, aku sedih dan menangis. Tapi kemudian aku kembali teringat bahwa sepanjang pengetahuanku, tidak ada penulis yang langsung berhasil menghasilkan karya hebat dalam sekali percobaan. Aku semakin memahami bahwa naskah pertama memang akan sangat sulit untuk diterima oleh penerbit. Sedikitnya pengalaman dan pengetahuan, tentu menjadi satu dari banyaknya faktor. Aku tidak ingat pasti berapa kali naskahku ditolak (karena begitu banyak) tapi aku ingat lebih dari lima kali. 

    Setelah melalui beberapa kegagalan yang menurutku cukup besar, aku menyadari sesuatu. Semakin sedikit pilihan yang ada, ketergantunganku pada pilihan yang tersisa pun semakin besar. Pun sebaliknya. Banyaknya pilihan yang ada membuatku menyikapi kegagalan itu dengan biasa saja. Seperti aku yang belum berhasil menerbitkan bukuku sendiri, saat ini aku masih terus berusaha memperbaiki naskah yang ingin kuajukan agar lebih sedikit celah penerbit untuk menolaknya. Karena menerbitkan buku bukan satu-satunya hal yang saat ini harus kukejar, maka aku menyikapinya dengan tidak berlebihan seperti sebelumnya. Semakin banyak kegagalan yang pernah kualami, maka semakin terbiasa aku menghadapi kegagalan yang akan ada di depan. Tentu saja ada banyak kegagalan atau penolakan yang belum kutemui bentuknya, yang mungkin saja akan menghampiriku suatu hari nanti. Tapi satu hal yang kutanamkan pada diriku sekarang, kegagalan hanyalah satu dari banyaknya proses yang harus kulalui. Sama seperti keberhasilan yang pada hal tertentu bisa kucapai, kegagalan pun demikian. Pada beberapa hal aku gagal, dan pada beberapa hal lain aku berhasil. Seperti siang dan malam, kegagalan dan keberhasilan pun datang bergantian. Hanya saja, keduanya datang pada waktu yang tidak menentu dan tidak bisa ditebak. Jadi, kapan pun kegagalan itu datang, aku harap aku bisa melaluinya dengan baik dan bisa mempersiapkan diri untuk bertemu pada kegagalan-kegagalan lain.

Comments

Popular posts from this blog

Validasi yang Dibutuhkan

Satu Hal yang Kini Tidak Lagi Kutakutkan; Ditinggalkan

Apakah semua orang yang berusia 21 tahun mengalami hal seperti ini?