Tentang 'Kenapa' yang Enggak Terjawab
Sejak duduk di bangku SD dulu, aku satu-satunya anak yang enggak senang kalau ada acara study tour. Waktu semua anak bersorak dan sibuk membicarakan tentang apa yang akan mereka bawa dan lakukan saat jalan-jalan nanti, aku satu-satunya anak yang cuma bisa diam. Kegiatan sesederhana berenang untuk melengkapi nilai olahraga pun, ternyata enggak pernah aku rasain. Aku marah betul kalau untuk hal-hal yang buatku akan menyenangkan, selalu ada larangan. Meski setelah kupikir-pikir lagi sekarang, bukan larangan itu yang buatku marah. Aku marah karena enggak pernah diberi kesempatan untuk dengar alasan kenapa larangan-larangan itu dibentuk. Aku tahu, di keluargaku, bukan cuma aku yang merasakan itu. Tapi, mungkin aku satu-satunya yang bersikeras untuk tahu apa alasannya. Tanpa aku sadari, ternyata kebiasaan bertanya-tanya sendirian itu justru jadi bagian dari kehidupanku sampai menginjak usia 20 tahun lebih.
Waktu aku dijauhin selama 3 tahun, cuma satu yang bisa aku lakuin. Bertanya-tanya ke diri sendiri tentang apa yang sudah kulakukan sampai hubungan itu sebegitu buruknya, juga apa yang bisa kulakukan untuk memperbaiki itu semua. Rangkaian pertanyaan itu terus-menerus ada di belakangku, seakan-akan sengaja sebab mereka juga mau tahu apa jawabannya. Karena cuma diri sendiri yang tersisa, aku cuma bisa menanyakan itu ke diriku sendiri. Begitu lama dan rumitnya proses aku mengolah semua pertanyaan itu tanpa pernah aku tahu bahwa aku enggak akan pernah bisa menemukan jawabannya seorang diri. Seperti sebelumnya, yang buatku marah bukan lagi mereka yang menjauh, tapi kenapa mereka menjauh. Aku butuh jawaban untuk pertanyaan yang satu itu. Pertanyaan yang melahirkan banyak mimpi buruk-buruk bahkan sampai bertahun-tahun setelahnya.
Aku merasa, ada terlalu banyak pertanyaan yang enggak bisa dijawab oleh mereka yang menimbulkan pertanyaan itu. Kalau aja dari awal aku diberitahu orang tuaku enggak mengizinkan pergi karena alasan keamanan, mungkin aku yang masih kecil itu akan mengerti kalau mereka menyayangiku. Kalau aja dari awal aku diberitahu kenapa aku dijauhi, mungkin aku enggak akan perlu repot konsultasi ke psikolog untuk menjawab pertanyaan yang tertanam di kepalaku sendiri. Kenapa semua orang bisa melahirkan pertanyaan, tapi enggak semua orang bisa memberikan jawaban untuk pertanyaan yang mereka hasilkan sendiri? Apakah sebegitu sulitnya untuk kasih tahu aku tentang banyak pertanyaan yang aku tahu mereka pasti sudah menebak sendiri kalau aku menanyakan itu. Kenapa mereka memilih untuk diam dan bersikap sesuka hati, meski mereka punya kesempatan untuk menjelaskan?
Aku enggak ingin pertanyaan yang kapasitas menjawabnya bukan di diriku, justru harus aku yang memikirkannya setengah mati. Pertanyaan yang buat aku tersesat di banyak tempat, pertanyaan yang bahkan bukan aku yang membuatnya. Aku enggak ingin pertanyaan-pertanyaan itu membuatku harus terjebak di masa yang sama terus-menerus hanya untuk mendapatkan jawabannya. Aku enggak ingin pertanyaan-pertanyaan itu membuatku mau tidak mau menyalahkan diri sendiri untuk banyak hal yang terjadi di luar kendaliku. Aku enggak ingin harus mengalami rentetan mimpi buruk yang tidak bisa kuubah menjadi mimpi yang baik. Aku enggak ingin jatuh sendirian lagi.
Comments
Post a Comment