Tiga Tahun Mimpi Buruk

    Butuh bertahun-tahun untukku mengakui bahwa aku adalah korban perundungan. Entah kenapa, sebutan itu justru membuatku merasa kecil dan terkucilkan meski tidak pernah ada yang mengatakannya padaku secara langsung. Pun, butuh bertahun-tahun untukku mengerti bagaimana perundungan bisa terjadi; tidak hanya fisik, tapi juga secara verbal. Mungkin untuk sekitar 1 tahun, aku masih tidak menyadari adanya julukan "korban perundungan" yang melekat padaku karena bagiku, itu adalah istilah yang cukup besar dan serius. Namun setelah menelusurinya lebih jauh, tentunya dengan membaca, mendengar, atau berkonsultasi secara langsung pada profesional, aku mulai memahami bahwa selama ini aku belum mengakui aku adalah orang yang pernah dirundung. 

    Selama ini, kalau ada satu atau dua orang yang bertanya atau ada pemicu kecil yang membawaku ke sana, aku masih bisa menjelaskannya dengan jelas dan detail tentang apa yang terjadi. Secara rinci, mulai dari waktu, mimik wajah, hari, sampai percakapan-percakapannya. Aku masih ingat betul apa yang waktu itu harus kubawa di kedua bahuku yang semakin lama semakin menunduk karena beban yang dibawa tidak sebanding. Aku ingat dengan jelas tentang tangkapan layar tulisanku yang kemudian dijadikan bahan lelucon, tentang mereka yang membacakan tulisanku lalu tertawa seperti aku menulis sebuah cerita komedi, tentang mereka yang membiarkanku tidak memiliki kelompok setiap kali kami diminta mengerjakan tugas kelompok, tentang mereka yang menggumamkan hal-hal tidak jelas setiap kali kami harus berada di kelompok yang sama, tentang makan siang sendirianku di lantai tiga, dan tentu yang paling penting; tentang mereka yang menganggapku tidak ada. Aku ingat bagaimana berkali-kali aku mengatakan maaf, juga ingat bagaimana aku harus mengikuti semua keinginan mereka untuk satu hal; diterima. Aku tidak tahu bahwa untuk diterima, ada begitu banyak hal yang harus kulakukan secara terus-menerus.

    Menariknya, aku tidak pernah mengingatnya dengan sengaja. Aku tidak pernah ingin menyimpannya dengan lekat di memori. Kalau bisa, aku justru ingin menghapus semua memori itu karena aku masih bisa merasakan perasaan-perasaan aneh yang memelukku setiap kali aku mengingat masa-masa itu. Karena itu, aku beberapa kali memutuskan untuk konsultasi dengan psikolog dan membaca buku-buku psikologi untuk membantuku mengatasi hal yang memberatkan itu. Namun ternyata, perjalanan untuk sampai ke satu kata sembuh adalah perjalanan seumur hidup yang tidak pernah kubayangkan.

    Setiap kali harus berada di lingkungan baru, aku merasa harus membulatkan tekad; aku akan menjadi orang yang seperti apa agar orang-orang di lingkungan itu bisa menerimaku. Aku kemudian berusaha untuk menjadi teman yang baik, berusaha menjaga komunikasi dengan orang-orang sekitarku. Sayangnya, setiap kali aku hampir mencapai titik baik yang kuharapkan itu, keberanian dan kepercayaan diriku menurun drastis. Aku harus memulainya dari 0 lagi, menyelami memori-memori buruk itu lagi, membenahi semuanya satu per satu lagi, dan yang paling buruk dari semuanya; menyalahkan diri sendiri lagi dan lagi. Untukku, fase menyalahkan diri sendiri yang berulang adalah fase yang paling buruk dan menyebalkan. Aku sadar bahwa sejak saat itu, aku memiliki sensitivitas yang lebih dibanding orang-orang sekitarku, dan itu pula yang menyebabkan hal-hal sederhana bisa dengan mudah menyentil dan membuatku memilih untuk tidak berteman dengan siapa-siapa karena masih ada keyakinan besar bahwa semua orang akan meninggalkanku sendirian. Seperti yang sudah-sudah.

    Kadang, aku merasa semua proses yang sudah kujalani sia-sia. Karena meski aku sudah mencapai angka 90% dalam proses kesembuhan itu, angka itu bisa mendadak turun menjadi 10% dalam sekejap. Kalau itu yang terjadi, aku selalu memilih untuk mengisolasi diri sendiri dari lingkungan sekitar. Butuh waktu untukku mengakui aku sempat takut ditinggalkan, aku khawatir perkataanku akan menyakiti orang dan mereka akan menjauhiku, bahwa aku selalu harus memberikan dan membagikan energi positif meski itu hanya melalui media sosial. Sampai akhirnya aku sampai pada sebuah titik pemahaman bahwa proses untuk sembuh berarti mengalami siklus yang berulang. Bahwa aku harus merasakan segala perasaan tidak nyaman yang itu itu saja, untuk ke sekian kali. Tentu, kadang aku ingin membiarkan perasaan itu ada di sana karena sungguh, menyembuhkan diri sendiri dari hal yang kubenci adalah hal yang sangat sulit. Tidak jarang aku berpikir bahwa trauma (kalau mau menyebutnya demikian) adalah hal yang tidak adil karena kenapa aku harus menyembuhkan diri sendiri dari luka yang dibuat oleh orang lain? Mengingat bahwa kehidupan mereka baik saja, bahkan cukup baik, sangat membuatku merasa kecil. Bagaimana mungkin, seseorang bisa tidur dengan tenang setiap hari sementara aku harus berusaha keras untuk tetap bernapas setiap pagi?

    Berkali-kali, saat aku merasa bahwa aku sudah baik-baik saja, aku akan berada di situasi yang justru membuatku merasa lebih buruk. Siklus yang berulang itu bisa terjadi dengan kadar normal, lebih buruk, atau jauh lebih buruk. Aku terus-menerus berlari pada garis start yang sama. Menyadari bahwa ternyata aku masih terluka, masih cukup rapuh, dan masih mudah mengingat waktu-waktu itu, justru membuatku merasa lebih buruk lagi. Aku merasa semua usaha yang sudah kucoba sia-sia dan hilang dalam semalam. Dan yang paling buruk, hal ini berpengaruh pada hubunganku dengan orang-orang sekitar yang bisa saja tidak tahu-menahu tentang kejadian di masa lalu itu. Aku merasa tidak ada orang yang cukup mengerti kondisiku, dan mereka memperlakukanku tanpa memperhatikan hal-hal yang bisa memicu memori-memori buruk itu.

    Trauma itu tidak membuatku menjadi lebih kuat, tapi membuatku menjadi lebih rapuh. Tidak membuatku lantas bangkit dan berusaha lebih keras, tapi membuatku terus-menerus bergerak di tempat yang sama karena aku tidak tahu harus melangkah ke mana. Tidak membuatku menjadi orang yang lebih baik, tapi membuatku memilih membatasi diri dan membiarkan orang-orang datang dan pergi sesuai keinginan mereka. Aku merasa tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk berhubungan baik dengan orang lain karena aku yakin bahwa semua orang akan meninggalkanku sendirian tanpa penjelasan apa-apa. Bahwa aku tidak berbakat untuk membangun dan menjaga hubungan pertemanan yang berumur panjang karena aku adalah anak yang bermasalah. Aku tidak akan memiliki teman baik seperti sewajarnya manusia karena semua orang, pada akhirnya, akan meninggalkanku sendirian di terowongan gelap ini selamanya.

    Untuk hari-hari di lantai tiga yang sepi, tulisan-tulisan yang tidak dimuat karena kekhawatiran berlebih, juga untuk kotak makan siang di lantai tiga. Mimpi buruk ini mungkin akan terus menghantui seumur hidupmu. 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

Validasi yang Dibutuhkan

Satu Hal yang Kini Tidak Lagi Kutakutkan; Ditinggalkan

Apakah semua orang yang berusia 21 tahun mengalami hal seperti ini?