Posts

Jalan Buntu

     Ada banyak jalan yang bisa ditempuh, tapi akhir dari perjalanannya adalah jalan buntu. Enggak pernah ada yang beritahu kalau menjadi dewasa berarti membiasakan diri dengan kegagalan yang bentuknya sangat beragam. Aku sering berandai-andai tentang bagaimana jika hidup sudah diberi kisi-kisi tentang apa yang benar dan salah, supaya kita enggak perlu menerka-nerka ada di jalan yang benar atau apakah akhir dari petualangan ini cuma sebuah kebuntuan. Enggak pernah ada di dalam bayangan bahwa kegagalan ternyata sesuatu yang harus dirasakan secara terus-menerus, dan diri enggak boleh lelah karenanya. Cukup enggak adil untukku, meski aku tahu Tuhan selalu lebih paham tentang apa yang baik dan enggak melebihi diriku sendiri.      Rasanya, perjalanan yang susah payah ditempuh ini pada akhirnya cuma akan mempertemukanku dengan kegelapan yang selama ini kuhindari mati-matian. Bagaimana kalau pada akhirnya, cerita yang berusaha kususun dengan sedemikian rapi ini, t...

Validasi yang Dibutuhkan

     Aku baru baca satu tulisan beberapa waktu lalu, dan masih kepikiran sampai sekarang. Enggak sengaja lewat di timeline Twitter (aku lebih senang bilang Twitter dibanding X karena enggak jelas) dan waktu aku baca, entah kenapa merasa tulisan itu terlalu cocok untuk aku.      Isinya gini; "My mother once told me: if you have to talk to more than one person about the same problem, you don't want help. You want attention. The real strength is SOLUTION not VALIDATION."      Wah. Aku betul-betul merasa ditampar di depan muka sendiri. Tapi setelah kupikir lagi, apakah aku enggak boleh menginginkan validasi itu? Apakah aku enggak boleh merasa butuh validasi dari orang lain? Aku bukan profesional dan enggak tahu jawabannya tentang benar dan salah, tapi aku merasa bahwa pada beberapa titik kita akan membutuhkan atau menginginkan validasi dari orang lain. Melihat apa yang terjadi ke diriku sendiri selama bertahun-tahun, aku merasa banyak ceritain ma...

Tentang 'Kenapa' yang Enggak Terjawab

     Sejak duduk di bangku SD dulu, aku satu-satunya anak yang enggak senang kalau ada acara study tour. Waktu semua anak bersorak dan sibuk membicarakan tentang apa yang akan mereka bawa dan lakukan saat jalan-jalan nanti, aku satu-satunya anak yang cuma bisa diam. Kegiatan sesederhana berenang untuk melengkapi nilai olahraga pun, ternyata enggak pernah aku rasain. Aku marah betul kalau untuk hal-hal yang buatku akan menyenangkan, selalu ada larangan. Meski setelah kupikir-pikir lagi sekarang, bukan larangan itu yang buatku marah. Aku marah karena enggak pernah diberi kesempatan untuk dengar alasan kenapa larangan-larangan itu dibentuk. Aku tahu, di keluargaku, bukan cuma aku yang merasakan itu. Tapi, mungkin aku satu-satunya yang bersikeras untuk tahu apa alasannya. Tanpa aku sadari, ternyata kebiasaan bertanya-tanya sendirian itu justru jadi bagian dari kehidupanku sampai menginjak usia 20 tahun lebih.      Waktu aku dijauhin selama 3 tahun, cuma satu ya...

Perihal Sembuh

     Mengupayakan sembuh adalah upaya seumur hidup. Bagaimana mungkin, kita bisa memaksa seseorang yang sakit untuk lekas sembuh tanpa pernah memberikan bantuan yang seutuhnya? Dari sekian banyak hal yang tidak sepatutnya memiliki tenggat waktu, sembuh termasuk di dalamnya. Sembuh bukan lagi tentang kapan dan bagaimana, tapi apakah diri siap secara mental dan fisik untuk kembali menghadapi hal yang menghancurkan di luar sana. Bagaimana mungkin kita memaksakan sesuatu untuk beranjak dari sesuatu yang belum sepatutnya beranjak. Mungkin satu tahun untuk orang lain, mungkin dua tahun untuk orang yang lain, mungkin waktu yang lebih banyak untuk diri sendiri.       Sembuh, berarti beranjak dari sebuah ruangan gelap menuju ruangan yang lebih terang. Tidak perlu paling terang, tapi sedikit lebih terang. Sebab kadang sesuatu yang tampak meyakinkan justru memutarbalikan semua-muanya. Tanyakan pada diri mengapa semua hal harus diberi tenggat waktu? Kenapa tidak m...

Simba

Image
     Kucing kesayanganku hilang tanggal 4 November 2022. Sudah setahun lebih ia hilang, sudah setahun lebih pula aku berharap suatu hari ia akan datang dan menungguku di depan pintu kamar seperti biasa. Berbagai kebiasaan yang ia lakukan, masih terekam jelas di kepalaku meski sudah setahun lamanya aku tidak pernah merasakan kebiasaan-kebiasaan itu lagi. Mulai dari menungguku membukakan pintu kamar di pagi hari, suaranya yang memintaku menuangkan makanan, duduk di meja belajar kapan pun aku sedang mengerjakan sesuatu, mengambil setengah dari kasurku untuk tempat tidurnya, suara lonceng di kalungnya yang terdengar tiap kali ia bergerak, duduk di pinggir jendela kamarku, duduk di atas lemari baju, atau wajahnya yang terdiam ketika aku menggendongnya. Ia bukan kucing yang senang digendong. Ia akan diam selama beberapa detik dan beberapa detik selanjutnya akan berusaha melepaskan diri sekuat tenaga meski aku hanya memegangnya. Kalau saja aku tahu ia akan hilang secepat itu, mu...

Kegagalan yang Melahirkan Kegagalan Lain

     Dalam beberapa tahun terakhir, aku mengalami beberapa kegagalan yang terjadi dalam rentang waktu yang cukup sebentar. Dan setelah melaluinya sampai akhirnya tiba pada hari ini, aku menyadari bahwa semakin banyak kegagalan yang kuhadapi, membuatku menyikapi berbagai bentuk kegagalan itu sebagai sesuatu yang biasa saja. Sesuatu yang hanya menjadi salah satu proses dalam hidup, yang bisa kuperbaiki di hari yang lain.      Kegagalan besar pertamaku sepertinya terjadi ketika aku lulus SMA. Sama seperti kebanyakan teman-teman, aku mengincar universitas terkenal. Saat itu kami diberikan pilihan dua kampus atau dua jurusan, dan aku memilih dua kampus dengan satu jurusan yang sama. Satu kampus yang kupilih adalah kampus yang menurutku masih memiliki kemungkinan untukku diterima, dan satu kampus lagi adalah kampus yang meski sangat kuinginkan tapi kemungkinan diterimanya jauh lebih sulit. Sejak awal aku tahu itu, tapi aku tetap ingin mengusahakannya. Alih-alih m...

Yang Asing

     Aku merasa aneh. Belakangan ini, setelah bertemu dengan orang banyak meski itu adalah orang-orang yang kukenal, aku sering merasa lebih cepat kehabisan energi setelahnya. Selama ini, aku cukup sering mengajak teman-temanku bertemu karena bertemu dengan mereka dapat membuatku lebih semangat melakukan banyak hal begitu aku pulang. Ketika bertemu dengan orang asing pun, beberapa kali aku membuka obrolan lebih dulu. Setelahnya, aku akan merasa senang karena bisa berkenalan dengan orang baru. Energiku melonjak setelah berinteraksi dengan orang lain. Namun, belakangan ini aku tidak merasa demikian.      Setiap kali pulang setelah bertemu dengan teman atau menghadiri suatu acara, entah kenapa aku merasa kehabisan semua energiku. Aku tidak bisa membalas pesan mereka, tidak ingin berinteraksi dengan mereka meski hanya di media sosial. Beberapa hari lalu, aku justru menonaktifkan media sosialku untuk menghindari interaksi-interaksi itu. Beberapa temanku mengirim...