Posts

Bentuk Kasih Sayang

     Aku baru menyadari satu hal. Bahwa selama ini, aku tidak mengerti bahwa cara setiap orang untuk menunjukkan kasih sayang selalu diberikan dengan bentuk yang berbeda-beda. Karena ketidaktahuan itu, aku cenderung menuntut orang-orang sekitarku untuk menunjukkan kasih sayang yang sama dengan caraku. Padahal, apa yang kulakukan belum tentu cocok dan membuat mereka nyaman.       Salah satu temanku terbiasa dengan ungkapan-ungkapan manis dalam kesehariannya, berbanding terbalik denganku. Aku tidak merasa bahwa kata-kata itu bisa menunjukkan seberapa besar perasaanku pada mereka, sehingga aku cenderung menunjukkan perasaan dengan memberikan kado atau mengirimi mereka makanan meski tidak ada hari spesial. Dengan begitu, mereka akan mengingat keberadaanku dan datang kapan pun mereka membutuhkanku.      Sayangnya, tidak semua orang menyadari hal ini. Pun denganku sampai beberapa waktu lalu. Aku menyadari bahwa meski bentuknya berbeda-beda, ka...

Kalau Hidup Bisa Diatur Ulang

     Kalau ada satu tombol yang bisa membuatku kembali memulai semuanya dari awal, mungkin aku memilih untuk menekan tombol itu. Paling tidak satu kali seumur hidup. Untuk putar balik, atur ulang rencana, bersiap untuk semua yang menyebalkan dan menyusahkan. Mempersiapkan diri dari kegagalan, ketertinggalan, ketidakbisaan, juga ditinggalkan. Alasannya sederhana, aku hanya ingin hidup yang lebih tenang.      Bagaimana rasanya, hidup tanpa dihantui rasa bersalah untuk sesuatu yang tidak tahu apa bentuknya? Bagaimana kalau hidup tanpa bayang-bayang masa lalu yang bersiap menerkam kapan saja? Bagaimana kalau hidup tanpa ada pikiran untuk bunuh diri? Bagaimana kalau hidup tanpa tokoh yang akan kubenci seumur hidup? Bagaimana kalau hidup dengan pola pikir yang sehat dan menyenangkan? Bagaimana kalau hidup, bisa berjalan dengan tenang dan nyaman?      Banyak hal yang sudah kulakukan untuk memperbaiki pola pikirku sendiri. Ada harga yang harus kubaya...

100

     Ada beberapa hal yang tidak akan pernah bisa kukatakan pada orang lain, termasuk orang-orang terdekat. Tentang hal yang pernah membuatku sedih meski sudah terjadi dalam waktu yang sangat lama, tapi tidak bisa hilang dari ingatanku bahkan sampai saat ini. Tentang ketidaknyamanan yang kurasakan selama bertahun-tahun lamanya, tapi tetap kusimpan sendirian. Aku meyakini bahwa tidak akan ada yang berubah dengan aku menceritakan kejadian-kejadian itu. Lukaku tidak serta-merta sembuh, tidak pula terasa membaik, apalagi hilang begitu saja. Lalu, apa yang membuatku harus menceritakan banyak hal pada orang lain? Bukankah pada akhirnya, semua orang akan menyimpulkan sesuai dengan pikiran mereka sendiri saja? Bagaimana kalau setelah aku menceritakan semuanya, keadaanku justru memburuk? Jauh lebih buruk dari sekarang? Pada akhirnya, diriku sendiri yang harus menanggung semuanya.      Peristiwa yang membuatku sakit hati, tidak pernah terselesaikan dengan tuntas. Sem...

Fase Baru

     Aku tidak pernah menganggap tidak mempunyai pasangan adalah hal yang salah, sampai temanku mulai jarang meluangkan waktu untukku. Aku tahu betul bahwa prioritas masing-masing orang akan berubah seiring berjalannya waktu, pun denganku. Dengan mengetahui hal itu, tentu aku tahu bahwa orang-orang terdekatku akan melupakanku dan memilih prioritas mereka yang baru. Aku tahu hal itu, tapi sepertinya aku belum terlalu siap dengan kenyataan itu.       Aku adalah orang yang cukup sering mementingkan orang lain dibandingkan diriku sendiri. Aku berusaha mengesampingkan keinginan kalau ada orang terdekatku yang menginginkan hal yang berlawan. Aku berusaha untuk terus ada bagi mereka selama 24 jam, kalau saja suatu waktu mereka membutuhkan kehadiranku. Salah satu caraku agar selalu ada untuk mereka adalah dengan tidak mematikan ponselku saat tidur di malam hari. Meski aku adalah orang yang cukup mudah terbangun jika mendengar notifikasi dari pesan masuk, aku n...

Jalan Buntu

     Ada banyak jalan yang bisa ditempuh, tapi akhir dari perjalanannya adalah jalan buntu. Enggak pernah ada yang beritahu kalau menjadi dewasa berarti membiasakan diri dengan kegagalan yang bentuknya sangat beragam. Aku sering berandai-andai tentang bagaimana jika hidup sudah diberi kisi-kisi tentang apa yang benar dan salah, supaya kita enggak perlu menerka-nerka ada di jalan yang benar atau apakah akhir dari petualangan ini cuma sebuah kebuntuan. Enggak pernah ada di dalam bayangan bahwa kegagalan ternyata sesuatu yang harus dirasakan secara terus-menerus, dan diri enggak boleh lelah karenanya. Cukup enggak adil untukku, meski aku tahu Tuhan selalu lebih paham tentang apa yang baik dan enggak melebihi diriku sendiri.      Rasanya, perjalanan yang susah payah ditempuh ini pada akhirnya cuma akan mempertemukanku dengan kegelapan yang selama ini kuhindari mati-matian. Bagaimana kalau pada akhirnya, cerita yang berusaha kususun dengan sedemikian rapi ini, t...

Validasi yang Dibutuhkan

     Aku baru baca satu tulisan beberapa waktu lalu, dan masih kepikiran sampai sekarang. Enggak sengaja lewat di timeline Twitter (aku lebih senang bilang Twitter dibanding X karena enggak jelas) dan waktu aku baca, entah kenapa merasa tulisan itu terlalu cocok untuk aku.      Isinya gini; "My mother once told me: if you have to talk to more than one person about the same problem, you don't want help. You want attention. The real strength is SOLUTION not VALIDATION."      Wah. Aku betul-betul merasa ditampar di depan muka sendiri. Tapi setelah kupikir lagi, apakah aku enggak boleh menginginkan validasi itu? Apakah aku enggak boleh merasa butuh validasi dari orang lain? Aku bukan profesional dan enggak tahu jawabannya tentang benar dan salah, tapi aku merasa bahwa pada beberapa titik kita akan membutuhkan atau menginginkan validasi dari orang lain. Melihat apa yang terjadi ke diriku sendiri selama bertahun-tahun, aku merasa banyak ceritain ma...

Tentang 'Kenapa' yang Enggak Terjawab

     Sejak duduk di bangku SD dulu, aku satu-satunya anak yang enggak senang kalau ada acara study tour. Waktu semua anak bersorak dan sibuk membicarakan tentang apa yang akan mereka bawa dan lakukan saat jalan-jalan nanti, aku satu-satunya anak yang cuma bisa diam. Kegiatan sesederhana berenang untuk melengkapi nilai olahraga pun, ternyata enggak pernah aku rasain. Aku marah betul kalau untuk hal-hal yang buatku akan menyenangkan, selalu ada larangan. Meski setelah kupikir-pikir lagi sekarang, bukan larangan itu yang buatku marah. Aku marah karena enggak pernah diberi kesempatan untuk dengar alasan kenapa larangan-larangan itu dibentuk. Aku tahu, di keluargaku, bukan cuma aku yang merasakan itu. Tapi, mungkin aku satu-satunya yang bersikeras untuk tahu apa alasannya. Tanpa aku sadari, ternyata kebiasaan bertanya-tanya sendirian itu justru jadi bagian dari kehidupanku sampai menginjak usia 20 tahun lebih.      Waktu aku dijauhin selama 3 tahun, cuma satu ya...