Posts

Apakah semua orang yang berusia 21 tahun mengalami hal seperti ini?

     Aku kadang bertanya-tanya. Apakah bangun tidur dan menjalani keseharian tanpa bertukar pesan dengan siapapun adalah kehidupan yang normal? Apakah semua orang menjalani usia 21 tahun mereka dengan keheningan seperti ini? Apakah aku akan baik-baik saja, untuk jangka waktu yang lama, tanpa pertemuan dan bertukar sapa dengan orang-orang terdekat? Sebetulnya, apa yang membuatku berada di situasi ini? Apakah diriku sendiri yang terlalu berlebihan membawa beban masa lalu, atau orang-orang terdekat yang tidak pernah meletakkan namaku dalam urutan nomor satu di hidup mereka? Aku hanya ingin hidup dengan baik dan benar, tapi aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya. Aku bekerja dan belajar seperti orang gila hanya untuk melupakan kenyataan bahwa semua orang memiliki orang terdekat mereka, sementara aku tidak.      Usiaku 21 tahun, dalam beberapa bulan akan bertambah menjadi 22 tahun. Tentu, banyak orang akan    mengatakan bahwa itu adalah usia yang masi...

Satu Hal yang Kini Tidak Lagi Kutakutkan; Ditinggalkan

     Bukan hanya berduka yang akan menghantam kita tiba-tiba di hari Minggu yang biasa saja, tapi juga rasa sakit.      Rasa sakit atas perasan tidak dianggap, tidak mendapatkan apa yang seharusnya didapatkan, tidak mempunyai seseorang untuk diandalkan, tidak diingat oleh orang terdekat, dan semua perasaan buruk itu, akan menghantam kita di satu hari yang biasa saja. Mungkin ketika bangun dari tidur, perjalanan pulang, di dalam angkutan umum yang berdesakan, atau siang hari terik yang biasa saja. Sangat biasa saja.      Realitas (mari kita menyebutnya begitu), datang seperti palu yang siap menghantam kepala dan seluruh tubuh kita untuk mengingat kembali bahwa tidak ada seorang pun yang menginginkan kita sebesar kita menginginkan orang-orang di sekitar kita. Teman-teman yang kita anggap dekat itu, sangat mungkin hanya menganggap kita sebagai satu dari ratusan kenalan mereka yang tidak ada artinya.       Aku tidak merasakan ...

Apakah Garis Akhir Itu Berupa Jurang?

     Aku sering mendengar cerita dari 'orang sukses' yang kini kekayaannya melimpah, popularitas sudah di genggaman, cerita tentang kesulitan dalam hidup sudah terlampau jauh di belakang. Banyaknya cerita-cerita itu mulai membuatku berpikir, apakah semua orang benar-benar ditakdirkan untuk sampai ke tujuan masing-masing? Ada banyak sekali orang yang berhasil masuk universitas impian setelah belajar dengan giat, atau mendapatkan penghargaan setelah bekerja sampai keluar masuk rumah sakit. Pertanyaannya, apakah keberhasilan itu ada di ujung mimpi semua orang? Bagaimana kalau, setelah semua usaha yang membuatku setengah gila ini diusahakan sedemikian kerasnya, aku tetap tidak akan mencapai apa pun? Kalau ini semua soal waktu, bagaimana kalau ujung dari usahaku ini adalah jurang tinggi? Bagaimana kalau tempat baik yang selama ini kuimpikan sebetulnya tidak akan ada? Bagaimana hidup orang-orang yang seperti ini? Bagaimana rasanya kerja keras seumur hidup untuk hasil yang tidak...

Bentuk Kasih Sayang

     Aku baru menyadari satu hal. Bahwa selama ini, aku tidak mengerti bahwa cara setiap orang untuk menunjukkan kasih sayang selalu diberikan dengan bentuk yang berbeda-beda. Karena ketidaktahuan itu, aku cenderung menuntut orang-orang sekitarku untuk menunjukkan kasih sayang yang sama dengan caraku. Padahal, apa yang kulakukan belum tentu cocok dan membuat mereka nyaman.       Salah satu temanku terbiasa dengan ungkapan-ungkapan manis dalam kesehariannya, berbanding terbalik denganku. Aku tidak merasa bahwa kata-kata itu bisa menunjukkan seberapa besar perasaanku pada mereka, sehingga aku cenderung menunjukkan perasaan dengan memberikan kado atau mengirimi mereka makanan meski tidak ada hari spesial. Dengan begitu, mereka akan mengingat keberadaanku dan datang kapan pun mereka membutuhkanku.      Sayangnya, tidak semua orang menyadari hal ini. Pun denganku sampai beberapa waktu lalu. Aku menyadari bahwa meski bentuknya berbeda-beda, ka...

Kalau Hidup Bisa Diatur Ulang

     Kalau ada satu tombol yang bisa membuatku kembali memulai semuanya dari awal, mungkin aku memilih untuk menekan tombol itu. Paling tidak satu kali seumur hidup. Untuk putar balik, atur ulang rencana, bersiap untuk semua yang menyebalkan dan menyusahkan. Mempersiapkan diri dari kegagalan, ketertinggalan, ketidakbisaan, juga ditinggalkan. Alasannya sederhana, aku hanya ingin hidup yang lebih tenang.      Bagaimana rasanya, hidup tanpa dihantui rasa bersalah untuk sesuatu yang tidak tahu apa bentuknya? Bagaimana kalau hidup tanpa bayang-bayang masa lalu yang bersiap menerkam kapan saja? Bagaimana kalau hidup tanpa ada pikiran untuk bunuh diri? Bagaimana kalau hidup tanpa tokoh yang akan kubenci seumur hidup? Bagaimana kalau hidup dengan pola pikir yang sehat dan menyenangkan? Bagaimana kalau hidup, bisa berjalan dengan tenang dan nyaman?      Banyak hal yang sudah kulakukan untuk memperbaiki pola pikirku sendiri. Ada harga yang harus kubaya...

100

     Ada beberapa hal yang tidak akan pernah bisa kukatakan pada orang lain, termasuk orang-orang terdekat. Tentang hal yang pernah membuatku sedih meski sudah terjadi dalam waktu yang sangat lama, tapi tidak bisa hilang dari ingatanku bahkan sampai saat ini. Tentang ketidaknyamanan yang kurasakan selama bertahun-tahun lamanya, tapi tetap kusimpan sendirian. Aku meyakini bahwa tidak akan ada yang berubah dengan aku menceritakan kejadian-kejadian itu. Lukaku tidak serta-merta sembuh, tidak pula terasa membaik, apalagi hilang begitu saja. Lalu, apa yang membuatku harus menceritakan banyak hal pada orang lain? Bukankah pada akhirnya, semua orang akan menyimpulkan sesuai dengan pikiran mereka sendiri saja? Bagaimana kalau setelah aku menceritakan semuanya, keadaanku justru memburuk? Jauh lebih buruk dari sekarang? Pada akhirnya, diriku sendiri yang harus menanggung semuanya.      Peristiwa yang membuatku sakit hati, tidak pernah terselesaikan dengan tuntas. Sem...

Fase Baru

     Aku tidak pernah menganggap tidak mempunyai pasangan adalah hal yang salah, sampai temanku mulai jarang meluangkan waktu untukku. Aku tahu betul bahwa prioritas masing-masing orang akan berubah seiring berjalannya waktu, pun denganku. Dengan mengetahui hal itu, tentu aku tahu bahwa orang-orang terdekatku akan melupakanku dan memilih prioritas mereka yang baru. Aku tahu hal itu, tapi sepertinya aku belum terlalu siap dengan kenyataan itu.       Aku adalah orang yang cukup sering mementingkan orang lain dibandingkan diriku sendiri. Aku berusaha mengesampingkan keinginan kalau ada orang terdekatku yang menginginkan hal yang berlawan. Aku berusaha untuk terus ada bagi mereka selama 24 jam, kalau saja suatu waktu mereka membutuhkan kehadiranku. Salah satu caraku agar selalu ada untuk mereka adalah dengan tidak mematikan ponselku saat tidur di malam hari. Meski aku adalah orang yang cukup mudah terbangun jika mendengar notifikasi dari pesan masuk, aku n...