Posts

Showing posts from October, 2021

Manusia, Aib

     Manusia itu tidak lebih dari sekumpulan aib yang bersembunyi di balik apa-apa yang disebut sempurna. Manusia itu makhluk yang saling menjatuhkan satu sama lain seakan-akan diri sendiri tidak memiliki setitik aib pun, padahal manusia lagi-lagi tidak lebih dari sekumpulan aib. Lantas semua yang saling merendahkan, saling menjatuhkan, saling mencemooh, sama dengan menjelek-jelekkan diri sendiri. Semua kesalahan yang sekumpulan aib lain pernah lakukan, belum menjadi hal pasti bahwa diri sendiri tidak pernah melangkah ke arah yang sama. Manusia itu tidak pernah sadar akan aib diri sendiri, tapi selalu membuka mata dan telinga dengan lebar untuk mengetahui aib orang lain. Manusia itu mulutnya banyak, sebab setiap kali dia melangkah, siapapun yang dia temui, ia ceritakan aib orang lain tanpa tahu malu seakan-akan ia menyaksikan semuanya sendiri padahal ia pun hanya percaya pada "katanya". Begitu manusia, sekumpulan malu dan aib yang tidak tahu bahwa dirinya hanyalah malu d...

Tidak Semua Sembuh Karena Yang Lain

     Tidak semua yang sembuh bisa sembuh karena kehadiran sosok lain. Tidak semua yang sembuh bisa sembuh karena yang kosong terisi lagi. Beberapa yang sembuh memilih sembuh karena memang ingin, bukan karena terpaksa, bukan karena keharusan. Sembuh adalah pilihan. Berjuang untuk sembuh juga pilihan. Tapi memilih terus sakit tanpa mencoba untuk sembuh bukan pilihan, melainkan keputusasaan.

Sembuh

  "Apakah semua yang berpisah selalu semata-mata untuk sembuh?" "Kalau berpisah dijadikan jalan untuk sembuh, maka hubungan yang tercipta sebelumnya hanya sebuah luka yang terlalu lama berjalan." "Bagaimana kalau setelah berpisah, sembuh tidak kunjung datang?" "Sembuh tidak selalu datang dengan perpisahan. Sembuh tidak selalu datang dengan pertemuan. Kalau kamu mau sembuh, sembuhlah sendiri. Orang lain tidak patut menyembuhkanmu, sebab kamu satu-satunya yang merasa perlu sembuh. Yang lain tidak."

Dari Luka Menuju Lupa

     Dari sekumpulan luka, kita berangkat menuju ruang bernama lupa. Di sana, bersama jutaan luka yang kecil sampai besar, kita berusaha melepas. Luka, baik kecil baik besar tetap luka. Baik sakit baik tidak tetap luka. Maka jutaan luka berkumpul saling menanyakan kabar satu sama lain yang tidak ada yang baik-baik saja. Setelahnya semua pecah. Pecah menjadi kepingan-kepingan kecil yang semakin lama semakin kecil sehingga tidak terlihat lagi oleh mata siapa pun bahkan mata luka itu sendiri. Rasa sakit yang adalah ciri khas luka, pun hilang. Lantas tak lama lagi, sekumpulan luka baru akan tiba. Dan lupa akan selalu menjadi tempat terakhir bagi mereka yang terluka.

Baik

     Semua orang menuntut haknya untuk berbicara, apalagi di sosial media. Katanya, semua orang bebas mengemukakan pendapat. Mereka mau hak-haknya terpenuhi, tapi enggak mau jalanin kewajiban buat bertata krama yang baik. Sosial media emang bikin semua orang bebas mengemukakan pendapat, tanpa harus terima konsekuensinya. Dan itu yang bikin pendapat-pendapat di sosial media, atau komentar-komentar di laman sosial media orang lain justru jadi ajang mengeluarkan kalimat paling jahat. Semua orang tahu bahwa mereka bebas berpendapat, tapi enggak semua orang tahu kalau ada tata krama dalam menyampaikan pendapat apalagi melalui sosial media. Dengan alasan demi kebaikan seseorang, tapi dengan cara yang jahat. Caci maki, bentakan, omelan, bahkan hujatan. Semua kata-kata jahat disusun sedemikian rapi cuma dengan alasan demi kebaikan. Padahal kata-kata yang dilontarin cuma jadi "tameng" atas rasa capeknya sama realitas. Sosial media jadi sasaran buat luapin semua emosi dalam diri ya...

:)

Waktu itu dia bilang dia enggak suka sama aku. Dia enggak tau aja, aku lebih enggak suka sama aku. Waktu itu dia bilang dia benci aku. Dia enggak tau aja, aku lebih benci aku. Waktu dia bilang dia kecewa sama aku. Dia enggak tau aja, aku lebih kecewa sama aku. Udah kecewain diri sendiri, kecewain orang lain juga. Enggak perlu capek-capek sampein rasa kesal kamu ke aku, soalnya aku udah rasain itu lebih dulu. Malah berlebih. Kamu benci aku, aku benci aku 10x lipat. Kamu kecewa sama aku, aku kecewa sama aku 10x lipat. Ya kamu enggak tahu aja, aku enggak suka sama aku. Semuanya. Makanya aku enggak suka bahas aku, karena enggak ada yang bagus.

Kepala, Akar Semua Masalah

Isi kepala sendiri yang berantakan, orang lain yang disalahin. Diri sendiri yang pendam masalah, orang lain yang dijadiin pelampiasan. Hidup sendiri yang belum berhasil, orang lain yang harus tanggung ruginya. Kadang, kita ngerasa paling susah. Padahal ada yang lebih disusahin dari kita. Kita enggak mau susah sendirian, enggak mau sedih sendirian, jadi orang lain adalah sasaran empuk buat luapin semua emosi. Ditahannya di kita, meledaknya di orang lain. Disimpannya di kita, dibagiinnya di orang lain. Iya, paham kok semua butuh pelampiasan. Tapi kalau diri sendiri yang sengaja simpan, kenapa harus orang lain yang sabar? Kenapa harus orang lain yang enggak tahu apa-apa, kena caci maki yang seharusnya kita sampein ke diri sendiri? Ya ... namanya manusia ... maunya enaknya aja. 

Begitu Cara Bahagia

Jangan jadikan seseorang sebagai alasanmu untuk hidup. Kelak ketika dia tidak bernapas lagi, kau pilih akhiri hidupmu yang berharga itu. Kelak ketika dia sakit, sakit pula kehidupanmu yang sehat itu. Kelak ketika dia hilang, hilang pula kehidupanmu yang masih panjang. Jalanmu mendadak buntu. Oh, apa itu dinding besar tengah menghadang? Atau pandangan gelap dan prasangka buruk terhadap hidup? Mimpi-mimpi yang kerap kau bangun, bukankah mereka adalah alasan hidup paling cantik? Alasan hidup paling baik dan menawan? Lebih menawan dari gadismu itu, hei. Iya iya. Tidak ada yang lebih menawan dari gadismu, ya? Ya, baiklah. Paham. Tapi kebahagiaan itu, kata orang tua yang jauh di sana, tidak perlu digantungkan pada diri orang lain, wahai anak muda. Begitu petuahnya. Bahagia masing-masing, tanggung jawab pada diri masing-masing. Kelak ketika masing-masing sudah berbahagia, bersatulah. Melebur. Bertabrakan dengan ombak di laut sampai tidak lagi terlihat beda. Satu untuk dua. Dua untuk satu. Beg...

Perpisahan Justru Jalan Keluar dari Semua Masalah

"Kamu mungkin enggak tahu, setiap langkah yang kuambil itu adalah hasil dari keputusanku. Keputusan yang udah kupikir dengan matang, supaya enggak ada penyesalan di kemudian hari. Setiap hari ... buatku adalah perjuangan. Setiap waktu, tenaga, dan pikiran yang kukasih, enggak mau kusia-siain. Aku enggak mau buang apa yang kupunya, cuma buat diterima sama orang lain. Cuma biar orang lain selalu senang sama kehadiranku, padahal itu hal yang enggak mungkin. Sekarang, daripada kita sibuk nyalahin satu sama lain, kenapa kita enggak ambil keputusan yang baik buat diri sendiri aja? Kamu ngerasa lebih baik kalau enggak sama aku, kan? Aku juga sama. Kalau dengan sendiri-sendiri kita bisa jadi pribadi yang lebih baik, itu keputusan yang akan kupilih. Aku enggak akan pernah ambil keputusan tanpa kupikir matang-matang sebelumnya. Jadi kalau kamu mau protes aku gegabah dan sebagainya, silahkan aja. Tapi sekarang kuberi tahu, aku enggak gegabah. Aku udah pikirin ini dari jauh-jauh hari." K...

Aku Hidup untuk Semua Harapanku

Aku bertahan bukan untuk diriku. Bukan untuk Bapak, Ibu, Adik, atau semunya. Aku bertahan hidup untuk mimpi-mimpiku. Impian besar yang kerap kupikirkan ketika malam tiba. Impian besar yang mampu membuatku menangis di sepertiga malam, hanya karena ketakutan akan kegagalan. Aku bertahan hidup untuk mimpi yang sudah kuukir sedemikian rupa. Demi mimpi yang sudah kurakit sedemikian besar. Tanpa mimpi, tidak ada bertahan. Tanpa mimpi, tidak ada kehidupan. Salah satu buku yang pernah kubaca mengatakan, hanya membutuhkan harapan untuk membuat manusia tetap hidup. Dan itu yang kulakukan. Aku hidup untuk semua harapanku.  

Sosial Media

"Asli, kok ini orang berani share kayak ginian ke sosial medianya? Mending mainnya udah yang jago, ini sih cuma level anak-anak. Gue rasa anak-anak SD juga bisa kalau kayak gini doang."  "Apa? Emang dia ngapain?" Ditunjukkannya salah seorang teman sekelas kami, sedang memainkan gitar. Bukan lagu sulit, tapi kurasa anak-anak SD belum mampu memainkannya. "Ya gapapa, dia juga masih belajar kali." "Ya kalau masih belajar ngapain udah di- share ? Pengen keliatan kalau dia lagi belajar, gitu? Buat apaan, sih? Kalau kayak gini malah malu-maluin diri sendiri, bukannya keliata jago." "Siapa tahu dengan dia bagiin itu ke sosial media, dia bisa jadi lebih semangat. Siapa tahu ya dia mau jadiin sosial media dia sebagai tempat buat dia belajar, supaya nanti dia bisa lihat udah seberapa jauh dia latihan." "Tapi kan bisa enggak usah dibagiin sekarang. Maksud gue dia belum jago, kenapa percaya diri banget bagiin kayak gini? Hahaha." "Lo...

Pamali

Di rumahku dulu, banyak sekali larangan yang Ibu dan Bapak berikan. Kalau kupikir-pikir, mungkin jumlahnya mencapai puluhan. Ya, memang sebanyak itu. Meskipun ketika beberapa kali aku melanggarnya, tidak terjadi apa-apa. Padahal Ibu dan Bapak bilang kalau aku melanggar, aku akan melihat sesuatu. Mereka menyebut itu sebagai pamali. Sedikit-sedikit, Ibu akan mengatakan,"Jangan gunting kuku di malam hari, nanti ada singa datang ke kamarmu," katanya. Kupikir karena selama ini aku ingin datang ke kebun binatang tapi Ibu dan Bapak tidak pernah membawaku ke sana, aku harus mendatangkan singa itu ke kamar. Tapi nyatanya sudah tiga minggu aku melakukan itu, tidak sekali pun aku melihat singa datang. Padahal aku sudah bersusah payah menggunting kuku dengan penerangan yang minim. Lain lagi ketika aku kenyang di tengah-tengah makan. Lauknya memang sudah habis, tapi nasinya maish sisa. Sedikit. Bapak bilang,"Habisin nasinya, nanti nangis loh kalau enggak habis," Ia mengingatkan....

Maaf ya, Pak.

"Kalau begini ceritanya, lebih baik kamu Bapak nikahkan saja! Susah-susah dirawat dari kecil, sudah besar kok nyusahin aja bisanya! Anak goblok!" "Memang Bapak pikir semua bakal selesai dengan menikah? Apa pernikahan serendah itu di mata Bapak?" "Setidaknya dengan menikah kamu bisa berguna buat orang lain, buat suamimu. Kamu jadi tanggung jawab orang lain, Bapak enggak kesusahan lagi cari uang sana sini cuma buat kamu. Bisanya nyusahin aja!" "Pak, aku juga udah berusaha banget. Setiap hari aku begadang, belajar. Tapi ya gimana Pak, mungkin emang belum rejekinya aja kampus itu buat aku." "Ya mana buktinya kamu udah berusaha? Orang gagal gitu kok, dibilang udah berusaha. Berusaha itu ya kalau kamu udah diterima!" Ranti menghela napas panjang. Dia tahu hal ini akan terjadi, tapi dia tidak tahu kalau Bapak benar-benar akan menikahkan dia kalau dia gagal lagi masuk universitas. Tiga tahun terakhir, Ranti sudah jadi pengangguran. Setelah lulu...

Hidup atau mati

Aku harus mencari satu pekerja lagi. Satu pekerja yang datang dari tempat jauh tapi kemudian memilih untuk menetap dan bekerja di Jakarta. Entahlah, kenapa tugas kuliah ini begitu menyusahkan. Kami harus menanyakan kepada banyak orang, apakah mereka termasuk orang-orang yang merantau atau bukan. Tapi justru tugas-tugas kuliah seperti ini yang membuatku semakin bersemangat, merasa tertantang. Aku jalan di depan toko-toko. Becek di beberapa tempat, terlihat jelas bahwa semalam atau pagi tadi hujan deras. Sampai aku tiba di depan sebuah kedai makanan. Aku memasuki kedai itu karena harus segera makan sebelum aku pingsan di tengah jalan. "Pesan apa, mbak?" Salah satu pelayan di toko itu menghampiriku sambil menyerahkan selembar kertas menu. Aku memesan nasi dan ayam, juga es teh manis. Sambil menunggu, aku melihat-lihat keadaan sekitar. Kedai ini cukup ramai untuk hitungan sebuah kedai makanan kecil. Hanya tersisa dua meja kosong di antara 10 yang tersedia. Sampai akhirnya mataku ...

Selamat Ulang Tahun

"Selamat ulang tahun ya Nak, maaf tahun ini belum bisa beliin kado lagi. Tahun lalu juga kadonya cuma makan-makan, maaf ya." Ibu membelai kepala Dika pelan. Ayah juga melakukan hal yang sama, tapi tidak mengucapkan apa pun. Dika mengangguk. Ia tidak apa-apa tidak ada kado, tidak ada makan-makan, tidak dirayakan pun tidak masalah. Sebab Dika percaya yang terpenting dari ulang tahun bukan barang dan kemewahan yang harus didapat, melainkan doa dari kedua orang tuanya. Dika mengambil helm hendak pergi bekerja seperti biasanya."Hari ini enggak libur dulu ngojeknya, Nak?" tanya Ayah ketika Dika bersiap mengambil sepatu."Enggak yah, sayang waktunya. Di rumah juga enggak ngapa-ngapain, Dika kerja aja," jawab Dika. Dikenakan sepatunya yang sudah lusuh itu. Sepatu lima tahun lalu yang sebetulnya sudah kesempitan, bagian solnya pun nyaris terlepas. Sudah dilem berulang kali sama saja, sepertinya memang umur sepatu itu memang sudah terlalu lama. Sebelum Dika meninggal...

Kebahagiaan keluarga

"Kak, emang kebahagiaan itu selalu sementara ya?" Kakak menatapku bingung. Mungkin kakak bingung kenapa aku menanyakan hal aneh seperti itu."Iya, emangnya semua yang bisa buat bahagia itu selalu hilang lagi ya? Enggak ada ya kebahagiaan abadi?" Aku mengulang pertanyaanku."Kenapa kamu tanya begitu? Emang kamu enggak bahagia sekarang?" Setiap kali aku diberikan sesuatu sama kakak, atau sama ibu, atau sama ayah, enggak lama kemudian hadiah itu akan diambil lagi. Entah dijual, entah digadaikan. Misalnya ketika aku diberikan sepeda oleh kakak, seminggu kemudian sepeda itu hilang dari teras rumah. Rupanya dijual ibu, karena ibu butuh uang untuk bayar keperluan di rumah. Atau ketika pamanku memberikanku ponsel seperti teman-temanku yang lain, belum sampai seminggu ayah sudah memintaku untuk memberikan padanya. Katanya ada yang harus dibayar. Entah listrik, air, atau apa pun itu. Apa yang sudah kami dapatkan, akan diambil kembali. Secepat mungkin. Kakak tersenyum ...

Bapak takut mati, enggak?

Bapak itu pemberani. Bapak enggak pernah takut apa pun. Ular, cicak, kecoa, semua serangga bisa bapak lenyapin dengan mudah. Bapak pemberani. Tapi takut dengan Tuhan. Tapi enggak takut dengan kematian. Aku tahu karena aku pernah bertanya pada ketika aku masih duduk di bangku SD.  Saat itu aku baru diajarkan oleh guru agamaku perihal kematian. Mulai dari proses meninggal, sampai nanti kami akan berakhir di surga atau di neraka. "Pak, bapak takut mati, enggak?" tanyaku saat itu. Aku ingat bapak sedang membetulkan sol sepatunya yang lepas kala itu."Ya enggak, kenapa harus takut?" Bapak justru balik tanya. Aku duduk di hadapannya."Kok enggak takut, pak?" tanyaku heran. Bapak tersenyum dan bertanya,"Memang kamu tahu, mati itu apa?" Kali ini bapak yang bertanya padaku. Aku mengangguk mantap. Guruku sudah memberitahu semuanya, jelas saja aku tahu."Apa?" bapak menoleh padaku."Mati itu ya enggak ada nyawa lagi pak, enggak bisa apa-apa. Nant...

Uang itu kebahagiaan. Kebahagiaan itu keluarga

Keluargaku adalah keluarga yang sederhana. Justru kalau aku boleh bilang, terlalu sederhana. Atau lebih pantas disebut kekurangan, aku tak tahu pasti. Yang jelas, kami seringkali menjual sesuatu meski baru membelinya selama beberapa waktu.  Waktu itu, aku pernah minta dibelikan sepeda roda dua untuk berangkat ke sekolah. Sebetulnya aku tidak terlalu menginginkannya, tapi nyaris semua anak-anak di sekolahku sudah naik sepeda ke sekolah. Tidak lagi jalan kaki, sehingga semua datang tepat waktu. Tapi tidak denganku. Setiap hari, aku harus berjalan paling tidak 20 menit untuk sampai ke sekolah. Kalau aku bangun kesiangan, maka aku sudah pasti tidak boleh masuk gerbang sekolah. Kalau boleh pun, aku akan dihukum selama jam pelajaran pertama. Berdiri di sebelah tiang bendera dan menjadi pusat perhatian seisi sekolah. Bapak saat itu benar-benar membelikanku sepeda. Meski sepeda bekas, bagiku tidak terlalu penting karena kondisinya masih sangat bagus. Persis seperti sepeda baru. Tapi belum ...

Lima tahun

"Jadi, apa kau masih memutuskan untuk tidak menyukaiku?" Pertanyaan itu terdengar jelas, memenuhi ruang yang kosong dan sepi. Tentu saja sepi, kafe itu sudah tutup sejam yang lalu dan dua orang ini masih duduk di salah satu mejanya.  "Bisakah kita membahas hal lain selain itu? Kita sudah tidak bertemu selama lima tahun, dan kau hanya ingin menanyakan itu?" Seo Jun menyunggingkan senyumnya. "Tentu saja. Selama lima tahun aku menunggumu menjawab pertanyaan itu, nyatanya semua usaha yang kulakukan sia-sia. Tidak pernah ada jawaban darimu. Bahkan kabar." Eun Hye menjawab dengan senyuman khasnya. "Untuk apa kau mengetahuinya? Memangnya, kau masih menyimpan perasaan?" Eun Hye tersenyum. "Mengapa tidak? Bukankah selama ini aku menolak semua pria hanya karena dirimu?" "Tidak mungkin kau mengabaikan semua orang hanya karena aku. Tidak mungkin." "Kenapa tidak mungkin? Nyatanya itu yang kulakukan. Kalau kau tidak percaya, kau bisa m...

Uji keikhlasan diri

Kepergian yang tadinya jadi perjalanan paling menyebalkan, akhirnya cuma jadi salah satu fase yang pasti kutemui dalam hidup. Enggak lagi menjadikan itu sebagai sebuah akhir, tapi sebagai berlayarnya sebuah kapal baru. Sebagai tertulisnya bab pertama dalam sebuah buku novel. Kepergian yang kerap kutangisi tanpa henti, akhirnya kuanggap sebagai uji keikhlasan diri. Cepat atau lambat, kita akan ditinggalkan. Cepat atau lambat, kita akan meninggalkan. Apa yang membuat kepergian menyesakkan, mungkin hanya kekosongan, kehampaan yang kerap aku rasa. Meski aku tahu, aku cuma perlu mengisinya lagi. Dan enggak harus sekarang.

Kura-kura

  "Mungkin kita harus jadi kura-kura, Bin. Yang jalannya lambat, tapi selalu tahu arah tujuan." "Tahu dari mana kura-kura selalu punya tujuan?" "Karena dia mungkin akan lebih milih diam di tempat dibanding harus jalan dengan kecepatan yang enggak bisa disebut cepat." "Emang manusia enggak bisa kayak gitu?" "Manusia selalu lari, padahal enggak selalu punya arah tujuan." "Bukannya itu salah satu keahlian manusia? Lari dari masalah, kabur dari semua yang enggak terasa menyenangkan, ngebiarin semuanya membusuk. Padahal sejauh apa pun kaburnya, semua yang dibiarin masih ada di sana, ya?" "Makanya, aku lebih pilih jadi kura-kura. Walau semua bilang aku lambat, tapi aku selalu tahu ke mana aku melangkah. " "Kalau gitu, aku mau jadi sloth." "Apa? Kenapa?" "Dia lebih lambat dari kura-kura, bukan?" "Ya ... Mungkin. Entahlah, aku sih enggak suka sloth." "Kok gitu?" "Soalnya...