Posts

Tiga Tahun Mimpi Buruk

     Butuh bertahun-tahun untukku mengakui bahwa aku adalah korban perundungan. Entah kenapa, sebutan itu justru membuatku merasa kecil dan terkucilkan meski tidak pernah ada yang mengatakannya padaku secara langsung. Pun, butuh bertahun-tahun untukku mengerti bagaimana perundungan bisa terjadi; tidak hanya fisik, tapi juga secara verbal. Mungkin untuk sekitar 1 tahun, aku masih tidak menyadari adanya julukan "korban perundungan" yang melekat padaku karena bagiku, itu adalah istilah yang cukup besar dan serius. Namun setelah menelusurinya lebih jauh, tentunya dengan membaca, mendengar, atau berkonsultasi secara langsung pada profesional, aku mulai memahami bahwa selama ini aku belum mengakui aku adalah orang yang pernah dirundung.       Selama ini, kalau ada satu atau dua orang yang bertanya atau ada pemicu kecil yang membawaku ke sana, aku masih bisa menjelaskannya dengan jelas dan detail tentang apa yang terjadi. Secara rinci, mulai dari waktu, mimik...

Mati Adalah Hal yang Mutlak

     Kita akan kehilangan setiap hari. Nyawa demi nyawa, kematian demi kematian. Lantas apa yang harus diusahakan kalau masa depan adalah kematian yang mutlak? Kalau mungkin saja, kita tidak akan menemui pernikahan dan masa depan yang gemilang melainkan kematian kita sendiri? Apakah jarak kita dengan Tuhan sudah semakin dekat atau justru semakin jauh? Apakah kita sudah terbiasa untuk kehilangan atau tidak ada orang yang bisa terbiasa dengan kehilangan? Lalu bagaimana kematian itu pada hari yang biasa saja justru hendak menjemput kita padahal kita tak menginginkannya? Atau ketika kita sangat menginginkan kematian itu sendiri, tapi ia tak kunjung datang lantas kita memilih untuk menjemputnya? Seperti apa hidup di sekeliling kita begitu kita memutuskan mati lebih dulu? Apakah kematian itu adalah keputusan atau keputusasaan?   "Tuhan, jarak kita semakin dekat." (Laut Bercerita) Lalu setelahnya, aku mati menjemputnya. 

Hari Ini Terlalu Gelap dan Aku Tak Ingin Berharap Pada Apa-apa

      "Apa hal yang pernah kamu usahakan, tapi akhirnya kamu menyerah?" Seseorang pernah menanyakan hal itu padaku.      Satu-satunya hal yang terlintas di kepalaku ketika mendengar kalimat itu adalah, aku sudah menyerah untuk berusaha masuk ke universitas negeri. Karena itu adalah hal yang pernah kuusahakan dengan semua yang kubisa, tapi pada akhirnya tidak berakhir sesuai dengan keinginanku.       Setelah kupikirkan lagi, seharunya aku memberikan jawaban lain. Aku bukan sudah menyerah untuk masuk ke universitas negeri, tapi aku sudah menyerah untuk bisa mencapai satu kata kuliah. Impian yang dengan yakin kumasukan ke dalam rencana itu, ternyata terlampau jauh untukku. Sampai aku pernah berpikir, kenapa orang-orang sepertiku, yang mimpinya begitu banyak dan tersusun rapi, tampak lebih susah untuk sampai ke sana? Aku paham betul bahwa untuk sebagian orang, angka puluhan dan ratusan itu bisa dicapai dengan mudah. Tapi tidak denganku....

Besok Kita Bertemu Lagi di Pemakamanku

     Pesan masih tergantung, beberapa belum terbaca dan beberapa lagi dibiarkan terbaca. Centang biru lagi dan lagi. Rentetan pesan terkirim menunggu balasan, tapi terlambat. Panggilan telepon tidak terjawab memenuhi notifikasi. Nanti katanya. Hari ini sedang sibuk. Pun kemarin, besok, lusa, entah sampai kapan.      Lalu di pagi hari yang biasa saja, di tengah persiapannya berangkat kerja, kabar duka datang. Seseorang meninggal katanya. Dengar-dengar, bunuh diri. Kalau ditanya alasan, mungkin jawabannya kesepian. Ah, mana mungkin kesepian bisa berujung bunuh diri. Ya, tentu bisa. Beberapa orang tidak bisa hidup sendiri, tapi siapa yang bisa?      Akhirnya, datang ke pemakaman. Menangis tak keruan. Meninggalkan pesan yang tidak terbalas dan panggilan yang tidak terjawab. Notifikasi itu selamanya ada di sana. Umurnya tentu tidak bisa bertambah lagi, tidak sepertimu. Menyesal lah. Menyesal lah seumur hidupmu. 

Apakah semua orang yang berusia 21 tahun mengalami hal seperti ini?

     Aku kadang bertanya-tanya. Apakah bangun tidur dan menjalani keseharian tanpa bertukar pesan dengan siapapun adalah kehidupan yang normal? Apakah semua orang menjalani usia 21 tahun mereka dengan keheningan seperti ini? Apakah aku akan baik-baik saja, untuk jangka waktu yang lama, tanpa pertemuan dan bertukar sapa dengan orang-orang terdekat? Sebetulnya, apa yang membuatku berada di situasi ini? Apakah diriku sendiri yang terlalu berlebihan membawa beban masa lalu, atau orang-orang terdekat yang tidak pernah meletakkan namaku dalam urutan nomor satu di hidup mereka? Aku hanya ingin hidup dengan baik dan benar, tapi aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya. Aku bekerja dan belajar seperti orang gila hanya untuk melupakan kenyataan bahwa semua orang memiliki orang terdekat mereka, sementara aku tidak.      Usiaku 21 tahun, dalam beberapa bulan akan bertambah menjadi 22 tahun. Tentu, banyak orang akan    mengatakan bahwa itu adalah usia yang masi...

Satu Hal yang Kini Tidak Lagi Kutakutkan; Ditinggalkan

     Bukan hanya berduka yang akan menghantam kita tiba-tiba di hari Minggu yang biasa saja, tapi juga rasa sakit.      Rasa sakit atas perasan tidak dianggap, tidak mendapatkan apa yang seharusnya didapatkan, tidak mempunyai seseorang untuk diandalkan, tidak diingat oleh orang terdekat, dan semua perasaan buruk itu, akan menghantam kita di satu hari yang biasa saja. Mungkin ketika bangun dari tidur, perjalanan pulang, di dalam angkutan umum yang berdesakan, atau siang hari terik yang biasa saja. Sangat biasa saja.      Realitas (mari kita menyebutnya begitu), datang seperti palu yang siap menghantam kepala dan seluruh tubuh kita untuk mengingat kembali bahwa tidak ada seorang pun yang menginginkan kita sebesar kita menginginkan orang-orang di sekitar kita. Teman-teman yang kita anggap dekat itu, sangat mungkin hanya menganggap kita sebagai satu dari ratusan kenalan mereka yang tidak ada artinya.       Aku tidak merasakan ...

Apakah Garis Akhir Itu Berupa Jurang?

     Aku sering mendengar cerita dari 'orang sukses' yang kini kekayaannya melimpah, popularitas sudah di genggaman, cerita tentang kesulitan dalam hidup sudah terlampau jauh di belakang. Banyaknya cerita-cerita itu mulai membuatku berpikir, apakah semua orang benar-benar ditakdirkan untuk sampai ke tujuan masing-masing? Ada banyak sekali orang yang berhasil masuk universitas impian setelah belajar dengan giat, atau mendapatkan penghargaan setelah bekerja sampai keluar masuk rumah sakit. Pertanyaannya, apakah keberhasilan itu ada di ujung mimpi semua orang? Bagaimana kalau, setelah semua usaha yang membuatku setengah gila ini diusahakan sedemikian kerasnya, aku tetap tidak akan mencapai apa pun? Kalau ini semua soal waktu, bagaimana kalau ujung dari usahaku ini adalah jurang tinggi? Bagaimana kalau tempat baik yang selama ini kuimpikan sebetulnya tidak akan ada? Bagaimana hidup orang-orang yang seperti ini? Bagaimana rasanya kerja keras seumur hidup untuk hasil yang tidak...

Bentuk Kasih Sayang

     Aku baru menyadari satu hal. Bahwa selama ini, aku tidak mengerti bahwa cara setiap orang untuk menunjukkan kasih sayang selalu diberikan dengan bentuk yang berbeda-beda. Karena ketidaktahuan itu, aku cenderung menuntut orang-orang sekitarku untuk menunjukkan kasih sayang yang sama dengan caraku. Padahal, apa yang kulakukan belum tentu cocok dan membuat mereka nyaman.       Salah satu temanku terbiasa dengan ungkapan-ungkapan manis dalam kesehariannya, berbanding terbalik denganku. Aku tidak merasa bahwa kata-kata itu bisa menunjukkan seberapa besar perasaanku pada mereka, sehingga aku cenderung menunjukkan perasaan dengan memberikan kado atau mengirimi mereka makanan meski tidak ada hari spesial. Dengan begitu, mereka akan mengingat keberadaanku dan datang kapan pun mereka membutuhkanku.      Sayangnya, tidak semua orang menyadari hal ini. Pun denganku sampai beberapa waktu lalu. Aku menyadari bahwa meski bentuknya berbeda-beda, ka...

Kalau Hidup Bisa Diatur Ulang

     Kalau ada satu tombol yang bisa membuatku kembali memulai semuanya dari awal, mungkin aku memilih untuk menekan tombol itu. Paling tidak satu kali seumur hidup. Untuk putar balik, atur ulang rencana, bersiap untuk semua yang menyebalkan dan menyusahkan. Mempersiapkan diri dari kegagalan, ketertinggalan, ketidakbisaan, juga ditinggalkan. Alasannya sederhana, aku hanya ingin hidup yang lebih tenang.      Bagaimana rasanya, hidup tanpa dihantui rasa bersalah untuk sesuatu yang tidak tahu apa bentuknya? Bagaimana kalau hidup tanpa bayang-bayang masa lalu yang bersiap menerkam kapan saja? Bagaimana kalau hidup tanpa ada pikiran untuk bunuh diri? Bagaimana kalau hidup tanpa tokoh yang akan kubenci seumur hidup? Bagaimana kalau hidup dengan pola pikir yang sehat dan menyenangkan? Bagaimana kalau hidup, bisa berjalan dengan tenang dan nyaman?      Banyak hal yang sudah kulakukan untuk memperbaiki pola pikirku sendiri. Ada harga yang harus kubaya...

100

     Ada beberapa hal yang tidak akan pernah bisa kukatakan pada orang lain, termasuk orang-orang terdekat. Tentang hal yang pernah membuatku sedih meski sudah terjadi dalam waktu yang sangat lama, tapi tidak bisa hilang dari ingatanku bahkan sampai saat ini. Tentang ketidaknyamanan yang kurasakan selama bertahun-tahun lamanya, tapi tetap kusimpan sendirian. Aku meyakini bahwa tidak akan ada yang berubah dengan aku menceritakan kejadian-kejadian itu. Lukaku tidak serta-merta sembuh, tidak pula terasa membaik, apalagi hilang begitu saja. Lalu, apa yang membuatku harus menceritakan banyak hal pada orang lain? Bukankah pada akhirnya, semua orang akan menyimpulkan sesuai dengan pikiran mereka sendiri saja? Bagaimana kalau setelah aku menceritakan semuanya, keadaanku justru memburuk? Jauh lebih buruk dari sekarang? Pada akhirnya, diriku sendiri yang harus menanggung semuanya.      Peristiwa yang membuatku sakit hati, tidak pernah terselesaikan dengan tuntas. Sem...

Fase Baru

     Aku tidak pernah menganggap tidak mempunyai pasangan adalah hal yang salah, sampai temanku mulai jarang meluangkan waktu untukku. Aku tahu betul bahwa prioritas masing-masing orang akan berubah seiring berjalannya waktu, pun denganku. Dengan mengetahui hal itu, tentu aku tahu bahwa orang-orang terdekatku akan melupakanku dan memilih prioritas mereka yang baru. Aku tahu hal itu, tapi sepertinya aku belum terlalu siap dengan kenyataan itu.       Aku adalah orang yang cukup sering mementingkan orang lain dibandingkan diriku sendiri. Aku berusaha mengesampingkan keinginan kalau ada orang terdekatku yang menginginkan hal yang berlawan. Aku berusaha untuk terus ada bagi mereka selama 24 jam, kalau saja suatu waktu mereka membutuhkan kehadiranku. Salah satu caraku agar selalu ada untuk mereka adalah dengan tidak mematikan ponselku saat tidur di malam hari. Meski aku adalah orang yang cukup mudah terbangun jika mendengar notifikasi dari pesan masuk, aku n...

Jalan Buntu

     Ada banyak jalan yang bisa ditempuh, tapi akhir dari perjalanannya adalah jalan buntu. Enggak pernah ada yang beritahu kalau menjadi dewasa berarti membiasakan diri dengan kegagalan yang bentuknya sangat beragam. Aku sering berandai-andai tentang bagaimana jika hidup sudah diberi kisi-kisi tentang apa yang benar dan salah, supaya kita enggak perlu menerka-nerka ada di jalan yang benar atau apakah akhir dari petualangan ini cuma sebuah kebuntuan. Enggak pernah ada di dalam bayangan bahwa kegagalan ternyata sesuatu yang harus dirasakan secara terus-menerus, dan diri enggak boleh lelah karenanya. Cukup enggak adil untukku, meski aku tahu Tuhan selalu lebih paham tentang apa yang baik dan enggak melebihi diriku sendiri.      Rasanya, perjalanan yang susah payah ditempuh ini pada akhirnya cuma akan mempertemukanku dengan kegelapan yang selama ini kuhindari mati-matian. Bagaimana kalau pada akhirnya, cerita yang berusaha kususun dengan sedemikian rapi ini, t...

Validasi yang Dibutuhkan

     Aku baru baca satu tulisan beberapa waktu lalu, dan masih kepikiran sampai sekarang. Enggak sengaja lewat di timeline Twitter (aku lebih senang bilang Twitter dibanding X karena enggak jelas) dan waktu aku baca, entah kenapa merasa tulisan itu terlalu cocok untuk aku.      Isinya gini; "My mother once told me: if you have to talk to more than one person about the same problem, you don't want help. You want attention. The real strength is SOLUTION not VALIDATION."      Wah. Aku betul-betul merasa ditampar di depan muka sendiri. Tapi setelah kupikir lagi, apakah aku enggak boleh menginginkan validasi itu? Apakah aku enggak boleh merasa butuh validasi dari orang lain? Aku bukan profesional dan enggak tahu jawabannya tentang benar dan salah, tapi aku merasa bahwa pada beberapa titik kita akan membutuhkan atau menginginkan validasi dari orang lain. Melihat apa yang terjadi ke diriku sendiri selama bertahun-tahun, aku merasa banyak ceritain ma...

Tentang 'Kenapa' yang Enggak Terjawab

     Sejak duduk di bangku SD dulu, aku satu-satunya anak yang enggak senang kalau ada acara study tour. Waktu semua anak bersorak dan sibuk membicarakan tentang apa yang akan mereka bawa dan lakukan saat jalan-jalan nanti, aku satu-satunya anak yang cuma bisa diam. Kegiatan sesederhana berenang untuk melengkapi nilai olahraga pun, ternyata enggak pernah aku rasain. Aku marah betul kalau untuk hal-hal yang buatku akan menyenangkan, selalu ada larangan. Meski setelah kupikir-pikir lagi sekarang, bukan larangan itu yang buatku marah. Aku marah karena enggak pernah diberi kesempatan untuk dengar alasan kenapa larangan-larangan itu dibentuk. Aku tahu, di keluargaku, bukan cuma aku yang merasakan itu. Tapi, mungkin aku satu-satunya yang bersikeras untuk tahu apa alasannya. Tanpa aku sadari, ternyata kebiasaan bertanya-tanya sendirian itu justru jadi bagian dari kehidupanku sampai menginjak usia 20 tahun lebih.      Waktu aku dijauhin selama 3 tahun, cuma satu ya...

Perihal Sembuh

     Mengupayakan sembuh adalah upaya seumur hidup. Bagaimana mungkin, kita bisa memaksa seseorang yang sakit untuk lekas sembuh tanpa pernah memberikan bantuan yang seutuhnya? Dari sekian banyak hal yang tidak sepatutnya memiliki tenggat waktu, sembuh termasuk di dalamnya. Sembuh bukan lagi tentang kapan dan bagaimana, tapi apakah diri siap secara mental dan fisik untuk kembali menghadapi hal yang menghancurkan di luar sana. Bagaimana mungkin kita memaksakan sesuatu untuk beranjak dari sesuatu yang belum sepatutnya beranjak. Mungkin satu tahun untuk orang lain, mungkin dua tahun untuk orang yang lain, mungkin waktu yang lebih banyak untuk diri sendiri.       Sembuh, berarti beranjak dari sebuah ruangan gelap menuju ruangan yang lebih terang. Tidak perlu paling terang, tapi sedikit lebih terang. Sebab kadang sesuatu yang tampak meyakinkan justru memutarbalikan semua-muanya. Tanyakan pada diri mengapa semua hal harus diberi tenggat waktu? Kenapa tidak m...

Simba

Image
     Kucing kesayanganku hilang tanggal 4 November 2022. Sudah setahun lebih ia hilang, sudah setahun lebih pula aku berharap suatu hari ia akan datang dan menungguku di depan pintu kamar seperti biasa. Berbagai kebiasaan yang ia lakukan, masih terekam jelas di kepalaku meski sudah setahun lamanya aku tidak pernah merasakan kebiasaan-kebiasaan itu lagi. Mulai dari menungguku membukakan pintu kamar di pagi hari, suaranya yang memintaku menuangkan makanan, duduk di meja belajar kapan pun aku sedang mengerjakan sesuatu, mengambil setengah dari kasurku untuk tempat tidurnya, suara lonceng di kalungnya yang terdengar tiap kali ia bergerak, duduk di pinggir jendela kamarku, duduk di atas lemari baju, atau wajahnya yang terdiam ketika aku menggendongnya. Ia bukan kucing yang senang digendong. Ia akan diam selama beberapa detik dan beberapa detik selanjutnya akan berusaha melepaskan diri sekuat tenaga meski aku hanya memegangnya. Kalau saja aku tahu ia akan hilang secepat itu, mu...

Kegagalan yang Melahirkan Kegagalan Lain

     Dalam beberapa tahun terakhir, aku mengalami beberapa kegagalan yang terjadi dalam rentang waktu yang cukup sebentar. Dan setelah melaluinya sampai akhirnya tiba pada hari ini, aku menyadari bahwa semakin banyak kegagalan yang kuhadapi, membuatku menyikapi berbagai bentuk kegagalan itu sebagai sesuatu yang biasa saja. Sesuatu yang hanya menjadi salah satu proses dalam hidup, yang bisa kuperbaiki di hari yang lain.      Kegagalan besar pertamaku sepertinya terjadi ketika aku lulus SMA. Sama seperti kebanyakan teman-teman, aku mengincar universitas terkenal. Saat itu kami diberikan pilihan dua kampus atau dua jurusan, dan aku memilih dua kampus dengan satu jurusan yang sama. Satu kampus yang kupilih adalah kampus yang menurutku masih memiliki kemungkinan untukku diterima, dan satu kampus lagi adalah kampus yang meski sangat kuinginkan tapi kemungkinan diterimanya jauh lebih sulit. Sejak awal aku tahu itu, tapi aku tetap ingin mengusahakannya. Alih-alih m...

Yang Asing

     Aku merasa aneh. Belakangan ini, setelah bertemu dengan orang banyak meski itu adalah orang-orang yang kukenal, aku sering merasa lebih cepat kehabisan energi setelahnya. Selama ini, aku cukup sering mengajak teman-temanku bertemu karena bertemu dengan mereka dapat membuatku lebih semangat melakukan banyak hal begitu aku pulang. Ketika bertemu dengan orang asing pun, beberapa kali aku membuka obrolan lebih dulu. Setelahnya, aku akan merasa senang karena bisa berkenalan dengan orang baru. Energiku melonjak setelah berinteraksi dengan orang lain. Namun, belakangan ini aku tidak merasa demikian.      Setiap kali pulang setelah bertemu dengan teman atau menghadiri suatu acara, entah kenapa aku merasa kehabisan semua energiku. Aku tidak bisa membalas pesan mereka, tidak ingin berinteraksi dengan mereka meski hanya di media sosial. Beberapa hari lalu, aku justru menonaktifkan media sosialku untuk menghindari interaksi-interaksi itu. Beberapa temanku mengirim...

Ia (aku)

     Kenapa semakin berusaha mengikhlaskan, justru rasanya semakin menyakitkan? Apakah keikhlasan selalu mengorbankan rasa sakit? Apakah ia bisa, bertahan pada waktu sampai ketika ia tahu bahwa keikhlasan tidak selalu memaklumi rasa sakit?       Ada banyak penolakan yang pernah ia temui dalam hidupnya dan ia berhasil mengikhlaskan semua itu. Tapi kenapa ia tidak bisa melakukan hal yang sama sekarang? Kenapa ia bahkan takut untuk mengikhlaskan seseorang padahal tidak pernah ada apa-apa di antara mereka? Bukankah ini hanya sebuah permainan, ajang untuk saling menghibur satu sama lain, dan sekarang ia menyerah untuk melakukannya lagi sebab ia membutuhkan sebuah jawaban? Jawaban yang tidak melulu menyenangkan, karena hanya jawaban dan kejelasan yang bisa membawanya ke jalan yang baru sekarang. Paling tidak, dengan adanya jawaban, ia tahu ke mana kakinya harus melangkah. Tahu apa yang harus dilakukan, juga tahu apa yang harus ditinggalkan.    ...

Kenapa Aku Tidak Bisa Menolong Diriku Sendiri?

     Beberapa hari lalu, temanku mendatangiku. Ia bercerita tentang masalah yang sedang ia hadapi, yang rasanya terlalu sesak, hingga akhirnya menangis di hadapanku. Aku menerimanya, tidak mempermasalahkan hal itu, mendengarkan dan memberinya sekotak tisu karena hanya itu yang bisa kulakukan. Aku sangat kesulitan ketika harus menghadapi seseorang menangis di hadapanku karena tidak tahu apa yang harus kulakukan. Haruskah aku memberinya kata-kata yang bisa menghibur? Haruskah aku memberikan kata-kata penyemangat? Haruskah aku memeluknya? Haruskah aku mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja? Aku tidak tahu, karena itu aku hanya melakukan apa yang terlintas di kepalaku saat itu. Mungkin beberapa orang akan melihat bahwa aku adalah orang yang tidak bersimpati pada orang lain. Bagaimana mungkin seseorang menangis di depanku tapi aku hanya diam, memberinya tisu, tanpa mengatakan apa-apa? Tapi, kalau saja aku tahu hal baik apa yang bisa kulakukan lebih dari diam dan memberikan...